Kamis, 15 Januari 2009

Ali Topan Wartawan Jalanan (4)


Ali Topan, Ali Topan, gumamnya sambil berjalan santai. Di dalam benaknya terbayang sosok anak muda itu. Untuk anak muda generasi sekarang pun, ia termasuk tinggi. Sekitar 175 centi, atau lebih, kata hatinya. Tinggi semampai, tapi tidak loyo. Kurus berisi. Gerakannya tak terduga, cepat. Si baret merah membayangkan adegan Ali Topan mencengkeram Cina di toko yang kebetulan disaksikannya.

Adegan tersebut mempesona dirinya. Dan, entah apanya, yang pasti ada sesuatu di dalam diri anak muda itu yang menarik perhatiannya. Matanya? Mata anak itu cemerlang, tapi bersinar sedih. Bahkan pada saat beringas tadi, kesedihan tetap melekat di mata itu. Itu mata khas milik orang-orang yang berpikir cepat dan tajam. Lembutnya, atau sinar sedihnya, mungkin refleksi dari gejolak batinnya. Garis-garis tajam dari hidung dan dagunya, membedakan anak itu dari seorang sentimentil yang cengeng.

Banyak anak-anak muda sekarang yang tampan, tapi jarang yang mengesankan kejantanan. Dia sudah banyak melihat dan bergaul dengan anak-anak muda tapi yang satu ini berbeda sekali. Kebanyakan anak-anak sekarang ganjen seperti perempuan. Ah! Ah! Si baret merah tersenyum sinis sendiri.

la sampai di bawah Kebayoran Teater yang terletak di bagian belakang komplek Pasar Melawai. Dua anak lelaki muda lewat di depannya, dari seberang jalan. Mereka berpakaian rapi, cakep-cakep, saling berangkulan dan tertawa genit seperti perempuan. Si baret merah bersuit keras. Dua anak muda itu berhenti serentak, menengok ke arahnya. Keduanya mengerjap-kerjapkan mata dan mulut mereka manyun-manyun, lantas... serentak pula mereka berjalan, menggoyangkan pantat seperti peragawan.

Si baret merah meludah ke aspal jalanan, mual melihat bencong-bencong itu. la batuk-batuk kecil, lalu bergerak lagi, menyeberang jalan, lewat toko jeans, ia menuju Taman Plaza yang kalau malam jadi pasar kaget yang terletak di sisi selatan terminal Blok M, di luar komplek pasar Melawai.

Penjual kaki lima berteriak-teriak menjajakan dagangan mereka. Kaos oblong, handuk, sandal jepit, gesper sampai batu akik. Teriakan mereka beradu keras dengan lagu-lagu pop yang diputar oleh para penjual kaset obe.

Si baret merah berjalan melewati Taman Christina Martha Tiahahu di ujung terminal, ke arah Garden Hall. Di seberang terminal matanya melihat banyak orang,pikirannya tersimpul pada bayangan Ali Topan. Gue mesti dapet itu anak. Gue mesti dapet, gumamnya. Bayangan wajah anak muda itu tak hilang-hilang dari pikirannya.
"Oom, rokoknya Oom....," seorang bocah pengecer rokok lewat di sampingnya. "Masih ada rokok gua," kata si baret merah. Bocah itu pergi sambil cemberut.
Si baret merah tiba-tiba merasa jarinya panas. Ternyata rokoknya sudah pendek sekali. Apinya memanasi jari. Segera dia jatuhkan, lalu melumatkan puntung rokok itu di alas sepatunya.

Menyeberangi jalan raya, ia masuk ke halaman Garden Hall Teater. Sebuah warung nasi Tegal di pinggir jalan, di belakang bioskop itu merupakan tempat yang ditujunya. Warung itu tempat Tekhab dan sopir-sopir President Taxi dan beberapa seniman Bulungan mangkal.
Matahari mencorong di atas. Peluh membasahi wajahnya. Tapi orang berbaret merah itu tampak gembira. Mulutnya menyiulkan lagu tema film Mannix. la bernama Robert Oui, bekas polisi yang kini merintis usaha sendiri di bidang penyidikan partikelir alias detektif swasta.

Sumber: kompas.com