Selasa, 23 September 2008

Ali Topan Anak Jalanan (21)


Esok malamnya, ketika ikut mengantar Boyke ke bandara, Ali Topan memperhatikan betapa Ruby, pacar Boyke menangis tersedu-sedu di pelukan Boyke disaksikan oleh tante Hernadi mama si Ruby dan teman-teman mereka. Windy dan nyonya Amir menghibur Ruby dengan kata-kata indah.

"Boyke nggak lama kok...," kata Windy.
"Ini kan demi masa depan kalian juga," kata nyonya Amin. "Boyke pasti akan selalu setia kepada Ruby," lanjutnya. Dan sebagainya... yang bikin Ali Topan geli.

Sementara Pak Amir berdiri dengan gaya sok hebat bisa menyekolahkan anaknya ke luar negeri, matanya jelalatan ke mana-mana.
"Aah, gentong nasi-gentong nasi, ngelebih-lebihin pemain ketoprak lu pade," gumam Ali Topan yang berdiri bersama Mbok Yem di luar kerumunan mereka. "Ngomong apa?" tanya mbok Yem waktu itu.

"Di sini nggak ada yang jual ketoprak, Mbok," kata Ali Topan yang tersadar ia ngomong sendirian.
"Hus ! Nanti malem saja mbok bikinkan. Aneh, orang-orang sedih mengantar mas Boyke, kamu malah pingin ketoprak," kata mbok Yem.
"Kencurnya banyakin entar ya, Mbok..."
"Ya udah, nanti!" kata Mbok Yem sambil mencubit lengan Ali Topan.
"Biar berasa ancur-ancurannye..," kata Ali Topan sambil menggandeng lengan MbokYemnya.

Potongan-potongan peristiwa masa lalu itu berkilasan dalam memori Ali Topan. Peristiwa yang menjadi bagian dari tragedi kehancuran moral keluarganya. Dan tragedi itu masih berlangsung.

Ali Topan berjalan hilir mudik di ruang tengah, ruang depan, lalu kembali ke kamarnya. Radio masih menggemakan mudik The Beatles dari studio Bonaparte. Lagunya Mother Nature's Son...
Born a poor young country boy MotherNature's Son
day long I'm sitting singing songs everyone...

“Den Bagus, nggak mandi? Sudah malem. Mbok sudah sediain air panas tuh. Mesin pemanas air di kamar mandi rusak," suara Mbok Yem halus menyapa Ali Topan pintu. Ali Topan berbalik menghadap Mbok Yem.
" Beh, kaget gua!" katanya. "Gua nggak mau mandi pake aer panas, Mbok," tambahnya.
“Lho kok nggak mau kenapa? Bandel, badannya anget disuruh mandi pakai air anget nggak mau. Kalau begitu raup saja."
“Apa itu raup? Raup itu cebok, ya Mbok?" kata Ali Topan. Dia tersenyum geli ke arah Mbok Yem dan si mbok melotot.
"Ooo, raup saja nggak tau. Raup itu cuci muka!"

"Bahasa apa itu raup?"
"Lho, bahasa Jowo to?"
"Oow, bohoso Jowo? Guo soh orong Njokorto, Mbok? Bukon orong Njowo... ho ho ho," kata Ali Topan. Dia terpingkal-pingkal.
Mbok Yem ikut ketawa. Dia suka kalau melihat Den Bagusnya ketawa macam itu. Pokoknya asal Den Bagusnya tidak kelihatan bersedih hati dan muram, Mbok Yem sudah senang.
"Raup apa mandi air anget?" kata Mbok Yem.
"Kalau mandi air anget keseringan bisa impoten, Mbok! Tau impoten apa nggak?"
"Impoten...," kata Mbok Yem, "Ayo deh, mandi saja sana," tambahnya. Mbok Yem meninggalkan Ali Topan. Mother Nature's Son dari The Beatles usai.

Ali Topan mencopot pakaiannya, lalu pergi mandi. MbokYem masuk ke kamar, membereskan kamar itu usai Mother's Nature Son, terdengar suara penyiar radio Bonaparte yang vokalnya cempreng. "Buat Ali Topan di mana saja berada, kami akan putarkan lagu kesenangannya, The Fool On The Hill. Atas permintam Maya dengan ucapan: "Eh kamu ke mana aja sih kok nggak ada beritanya. Aku kangen loh..."

"Aduh duh duuh yang kangen... kesian amat... Kalan memang yang namanya Ali Topan itu nggak ada kabar-kabarnya, nggak usah dikangen-kangenin... Entar; kegeeran dienya... Putusin aje... Kayak layangan... studio Bonaparte banyak stok kok... he he he ... Terutama yang sedang ngablak nih... Aku baru ga punya pacar loh... he he. he... Okey Maya.. dan Ali Topan dan para monitor Bonaparte di Kebayoran Baru dan sekitarnya, selamat mendengarkan dan salam kompak dari apung-apung alias anak pungut Napoleon Bonaparte." Penyiar itu mengoceh panjang tanpa putus.

Lalu terdengarlah nada-nada piano intro lagu yang menakjubkan itu, disusul vokal Paul McCartney yang kebocah-bocahan.

Day after day,
Alone on a hill,
The man with the foolish grin is keeping perfectly still
But nobody wants to know him,
They can see that he's just a fool,
And he never gives an answer,

But the fool on the hill,
Sees the sun going down,
And the eyes in his head,
See the world spinning 'round.

Well on the way,
Head in a cloud,
The man of a 1000 voices talking perfectly loud
But nobody ever hears him,
Or the sound he appears to make,
And he never seems to notice,

But the fool on the hill,
Sees the sun going down,
And the eyes in his head,
See the world spinning 'round.

“Lagu opo iki ! Mbok nggak ngerti..."' gerutu mbok yem ditengah interlude lagu yang tiupan flute-nya filosofis banget.
Dari kamar mandi di samping kamar itu terdengar suara lantang Ali Topan menjerit menyanyikan bait akhir syair lagu yang menyindir orang-orang dungu yang mengolok-olok seorang bijak yang menyendiri di suatu bukit sebagai the fool.
Ooo.. Oooh!
He never listens to them!
He knows they're the fools..!! (bersambung)

sumber: kompas.com

Ali Topan Anak Jalanan (20)


Tommy menancap gas. Mobil melaju ke arah Tebet. Di situ ada penginapan Garden, tempat orang-orang memadu cinta gelap.

Di rumah, kesepian menggerayangi hati Ali Topan. Suasana sepi seperti itu begitu sering melingkupinya. Rumah kosong, ayah dan ibunya pergi mencari kesibukan masing-masing.

Boyke, abangnya sudah jauh. Di Sidney Australia. Kabarnya belajar di sekolah bisnis. la dua kali mengirim kartupos bergambar kanguru ke Ali Topan. Isinya itu ke itu saja: tentang cuaca di Sidney, dan nasihat agar Ali Topan jangan bandel-bandel, harus rajin sekolah, jangan suka membantah papa dan mama dan jangan suka bertengkar dengan Windy.

Ali Topan membalas menasehati Boyke lewat kartupos bergambar monyet: Kalau belajar bisnis ngapain lu jauh-jauh ke Australia ? Buang-buang duit. Lu belajar aje sama Cina-cina di sini. Atau lu belajar nyogok pejabat sama papa.

Boyke marah sekali dikirimi kartupos bergambar monyet dan nasihat itu. la mengirim balasan kartupos gambar anjing dengan kalimat: Kurang ajar lu! Awas gue pulang, gue hajar! Wajah Boyke yang klimis tapi mesum terbayang di Ali Topan. Usianya 4 tahun di atas Ali Topan. Kelakuannya konyol karena terlalu dimanja akan oleh papa mamanya. Ali Topan tak pernah merasa dekat dengan dia,dan tak pernah respek. Abangnya itu seorang pesolek gemar foya-foya seperti papanya. Hatinya hati pengecut. Berani berbuat tak berani bertanggung jawab!

Boyke dikirim ke Australia oleh papanya sebetulnya menutupi suatu skandal. la menghamili Sinah, pembantu keluarga mereka asal Kartosuro yang berusia 15 tahun.

Sinah disuruh menggugurkan janinnya yang telah berusia dua bulan oleh Pak Amir. Dan diberi uang Rp 75.000 untuk biaya pengguguran itu. "Besok kamu biar diantar pak sopir ke dokter kenalanku. Sesudah selesai, kamu akan saya beri uang lagi," kata Pak Amir seperti yang diungkapkan Sinah ketika Ali Topan mengetahui kasus itu pada malam harinya.

Ali Topan semula memang tak tahu ada kasus Sinah disebabkan aktivitas seksual Boyke. Mbok Yem dan pak Ihin yang tahu kasus itu disuruh tutup mulut oleh pak Amir dan nyonya Amir. Ali Topan tahu ketika malam ia menyuruh Mbok Yem menanyakan kaos oblongnya yang bergambar lambang `peace' ke Sinah.

"Sinah sudah dua hari ini ndak nyuci pakaian, Den Bagus. Dia sakit," kata MbokYem.
"Suruh ke dokter, dong..."' kata Ali Topan polos. "Akan ke dokternya mbesok," kata Mbok Yem.
Ali Topan heran. "Kok besok? Kenapa nggak tadi sore? Atau malam ini? Emangnnya Sinah sakit apa, Mbok?"
"Ndak tahu sakit apa," kata Mbok Yem lantas cepat-cepat pergi ke dapur. la takut membongkar rahasia itu. Ali Topan penasaran. la ke kamar Sinah, maksudnya akan bertanya Sinah sakit apa. Ali Topan kaget ketika dengan polosnya disertai airmata bercucuran Sinah mengungkapkan kasus itu.
"Lu dosa kalo gugurin anak lu! Jangan mau! Bisa sial lu seumur hidup! Dan kalo lu mati dimasukin ke neraka kata Ali Topan kepada Sinah. "Daripada begitu, lu pulang aje ke desa lu dan lu lahirin anak lu di sono. Omongan orangtua gue yang kagak bener jangan lu turutin, Sinah..:'

Ternyata omongan Ali Topan itu masuk ke hati Sinah. Malam hari itu juga Sinah pergi secara diam-diam dari rumah majikannya. Mbok Yem pun tak tahu. Sampai sekarang.

Esok harinya Pak Amir, nyonya Amir, Boyke dan Windy sibuk mencari-cari Sinah. Pak Amir menyuruh sopir naik kereta api ke desa Sinah. Tapi Sinah tak ada di rumah orangtuanya. Sinah seperti hilang ditelan bumi.

Beberapa geng dukun yang dibilang sebagai "orang pinter" dimintai bantuan oleh nyonya Amir untuk menemukan Sinah. sebulan kemudian, setelah Pak Amir, nyonya Amir dan Boyke putus asa, Boyke dikirim ke Australia dengan alasan sekolah bisnis.

Ali Topan berlagak bodo seperti anak yang nggak tau persoalan. Karena ia merasa dirinya pun dianggap nggak ada sebagai anggota keluarga yang mestinya diberi tahu urusan apa pun yang menyangkut keluarga. (bersambung)

sumber: kompas.com

Ali Topan Anak Jalanan (19)


Lepas waktu Isya, sebuah mobil Holden Premier warna hitam pekat berhenti di depan butik. Seorang nyonya berumur sekitar 43-an keluar mobil digandeng seorang pemuda umur 27-an yang tadi menyetir mobil itu. Mereka berjalan memasuki butik, bergandengan mesra sekali.

"Punggungnya nggak dingin?" tanya si pemuda sambil mengusap punggung si nyonya yang terbuka karena ia memakai gaun backless.
"Dingin? Masa ada jij masih dingin?" kata si nyonya. Keduanya tersenyum seperti sepasang pengantin remaja raja.
Seorang nona penjaga butik menyambut mereka dengan sopan santun komersilnya.
"Daag Tante, selamet malem... Sampe kangen deh, sudah lama nggak kemari... baju baru Kern dan Cavallo sudah hampir habis diborong orang, tapi masih saya sisain buat... mm... buat siapa siih?" Kata penjaga butik. Senyumnya legit ke arah pemuda yang berlagak pilon.
"Eh, Zus Lenda, apa belum kenal? Ini ponakan yang baru, paling baru. Tommy, kenalan sama Zus Lenda...," kata si nyonya.

Tommy dan Zus Lenda bersalaman. Keduanya senyum-senyum. Si nyonya tampak bangga ketika melihat sinar mata naksir Zus Lenda pada Tommy.
"Ganteng, ya Zus?" kata si nyonya.
"Wah, ganteng sekali. Paling ganteng dari semua ponakan tante yang dulu-dulu. Ini sih barang eksklusif, he he he," kata Zus Lenda, "ini ponakan yang dari Jerman atau dari London, Tante Amir?" tambahnya.
"Dari Tebet saja..."' jawab si nyonya yang ternyata bernama Nyonya Amir itu. la memang istri Pak Amir, jadi ibu Ali Topan status formilnya.

Pemuda Tommy itu bukan ponakan dalam arti sebenarnya, melainkan ponakan dalam arti semu yang biasa dipakai di kalangan tante-tante girang. Ponakan itu artinya kekasih gelap. Memang Nyonya Amir itu seorang tante girang yang beken di Kebayoran. Hal itu termasuk masalah yang membuat Ali Topan kesal, malu dan selalu menderita batin.

"Ayo, young! Katanya pingin baju Cavallo merah, minta aja sama Zus Lenda," kata Ny Amir.

"Zus, tolong deh pilihkan warna merah, dan yang biru itu sekalian," tambahnya.
"Ukuran berapa?" tanya Zus Lenda.
"M ... ," sahut Tommy. Tampak ia malu-malu kucing.

Segera Zus Lenda mengambil baju-baju Cavallo warna merah dan biru dari lemari butik, lalu dihamparkannya di depan Tommy. "Mau coba dulu?" katanya.
“Sudahlah, sudah cocok itu ...," kata Nyonya Amir,”bungkus saja langsung," tambahnya.

Zus Lenda langsung memasukkan baju-baju itu ke dalam tas plastik ber-merk Srigala. Nyonya Amir mengambil 7 lembar Rp 5.000-an, disodorkannya pada Zus Lenda. "Cukup, Zus?" katanya.
"Kurang seribu, Tante... tapi biar deh, korting seribu."

"Trims deh. Oke, saya langsung saja, ada acara lain, Zus Len," kata Nyonya Amir.
"Silakan. Trima kasih Tante. Trima kasih Tommy," kata Zus Lenda.

la mengantarkan tamunya sampai pintu. Senyumnya segera berubah setelah mobil Holden yang membawa Nyonya Amir dan Tommy pergi. Senyum komersil yang cerah berubah jadi senyum iri hati yang sedih. Zus Lenda seorang perawan menjelang senja.

Mobil Holden Premier itu meluncur di jalanan. Tommy menyetir mobil dengan wajah cerah. Nyonya Amir tersenyum memandanginya.
"Puas, young? Cavallo merahnya?" tanya Nyonya Amir.
"Oooouw, puas sekali, Tante ... Tapi mahal amat ya? Rasanya sayang amat duit segitu banyak cuma dapet dua baju saja," kata Tommy. Omongannya itu bermakna basa-basi, berkait di ujungnya.
"Aah, buat Tommy tak ada rasa sayang tante keluarkan uang. Yang penting Tommy puas, senang, tante juga puas, senang. Kan gitu, Tom? Ha ha.."
"Terima kasih, Tante .."
"Oow, kembali kasih, young... tapi nyetirya jangan terlalu pelan dong, tante kan sudah capek, ingin dipijet sama Tommy... hm... hem," kata Ny Amir.

la mencubit paha Tommy. Tommy menangkap tangannya dan mengusap tangan itu. Nyonya Amir kembali mencubit paha Tommy. Dan bukan cuma mencubit paha saja. Tangan itu menjadi liar dan aktif ke sana ke mari.
"Ke Garden, Tante? Langsung?" kata Tommy.

"Langsung, young..." (bersambung)

sumber: kompas.com

Sabtu, 20 September 2008

Ali Topan Anak Jalanan (18)


Tiba-tiba ia tertegun melihat ke foto-foto di atas tikar. Mbok Yem membungkuk mengamati foto-foto nyonya Amir dan seorang anak muda di kolam renang. Mbok Yem melihat ke Ali Topan. Ali Topan melihat ke Mbok Yem.

"Ini Ndoro Putri?”tanya mbok Yem, pahit.
"Ya, mamaku, Mbok...," kata Ali Topan.
"Siapa anak muda itu?" tanya MbokYem sambil berdiri. Mata Ali Topan menatap tajam ke arah Mboknya. Lalu, segera ia memutar gelombang radio, untuk mengusir berbagai rasa dari hatinya. Ia menghentikan putarannya setelah musik pop The Beatles menggema di ruang itu. Gelombang radio Bonaparte-52!

Akhir lagu Mister Postman dilanjutkan dengan lagu Strawberry Fields Forever dari The Beatles. Ketika lagu itu memasuki refrainnya, Ali Topan membesarkan volume suara radio itu, hingga musik dan vokal John Lennon dkk menggema keras di ruang kamamya.

Living is easy with eyes closed misunderstanding all you see it's getting hard to be someone but it's all works out
it doesn't matter much to me...

Mbok Yem buru-buru keluar dari kamar, karena mendengar suara pintu dihempaskan dari arah kamar Pak Amir.
Pak Amir memang menghempaskan pintu lemari setelah ia mengeluarkan setelan jas sport-nya. Hobi Pak Amir memang begitu, suka menghempas-hempaskan pintu, seakan-akan, ia dilanda kemarahan yang sangat besar. Padahal itu cuma kamuflase. Hatinya sebenamya tertawa geli setelah menghempaskan pintu itu. Di masa mudanya ia pemain teater, jadi pintar akting.

Setelah berdandan secara kilat. Mengenakan sport jas kotak-kotak coklat tua dengan pantalon krem. Dia memakai sepatu Bally yang harganya Rp 44.000, kemudian menyemprotkan parfum ke sapu tangan, lengan jasnya dan di bagian bawah pantalonnya. Kemudian ia bercermin sebentar, menyisir rambutnya dan membetulkan letak kacamatanya. Lalu ia membuka tas Samsonite den mengambil segumpal uang kertas dari dalam tas itu, kemudian memasukkan uang itu ke saku celananya.
Lalu ia keluar dari kamamya.

Tepat pada saat ia hendak menutup pintu kamar, Mbok Yem sedang berjalan dari kamar mandi. PakAmir menampakkan wajah serius, diangker-angkerkan supaya kelihatan berwibawa betul.
"Mbok, saya mau rapat. Ng... anak monyet yang satu itu jangan boleh nglayab lagi. Suruh belajar gitu! Kalau ibu tanya, bilang saya rapat, gitu. Dengar, Mbok?" kata Pak Amir.
"Saya, Tuan!" jawab Mbok Yem sambil membungkukkan badannya dalam gaya orang Jawa jaman penjajahan.

PakAmir menutup pintu kamamya, lalu berjalan keluar. Kemudian ia menghampiri mobilnya yang sudah siap di depan pintu.
Pak Ihin membukakan pintu mobil dan Pak Amir masuk ke dalamnya. Mbok Yem mengunci pintu. Lalu berjalan masuk ke dalam tanpa melihat ke arah mobil yang bergerak meninggalkan halaman rumah.

Suasana malam biasa-biasa saja. Warna langit biasa-biasa saja. Tapi memang udara agak dingin di luar.

Boutiqe Srigala yang terletak di Jalan Sunan Kalijaga merupakan salah satu boutiqe eksklusif di daerah Kebayoran. Jalan Sunan Kalijaga memang tidak seramai Melawai Raya yang lebih dekat dengan pusat pertokoan Blok M, tetapi jalan itu memberi kesan tersendiri yang justru lebih memantaskan Srigala sebagai alamat orang-orang kaya Kebayoran, Menteng maupun Tebet, memperoleh pakaian siap pakai dari berbagai merk terkenal. Srigala khusus butik lelaki.(bersambung)

sumber: kompas.com

Ali Topan Anak Jalanan (17)


Dua kali ia mendapatkan bukti. Yang pertama, sekitar empat bulan yang lalu pada saat liburan sekolah. Gevaert mengajak dia, Dudung dan Bobby menginap di villanya di Cipanas. Malam harinya mereka membayar seorang penjaga villa sewaan untuk mengintip pasangan yang sedang ngesex itu Pak Amir, papanya sendiri bersama seorang pelacur...

Ali Topan mendengar ketukan di pintu kamarnya. Ia hafal itu ketukan mbok Yem. la sedang bersedih, ingin menyendiri. Tapi akhirnya ia bangun juga dan membuka pintu. Mbok Yem berdiri membawa baki berisi air jeruk dingin.

Pak Amir keluar dari kamar mandi, berjalan masuk ke kamarnya. Mbok Yem mengangkat gelas bekas madu telor dari meja. Dibawanya gelas kotor itu ke dapur, melewati kamarAli Topan. Di depan kamar Ali Topan, Mbok Yem berhenti sebentar dan melongok ke pintu yang tertutup itu. Kemudian Mbok Yem berjalan terus ke dapur.

Ali Topan menelungkup di tempat tidur. Lalu menelentang lagi. Pada posisi begitu ia mengambil sebatang rokok dari kaus kakinya. Dinyalakannya rokok itu, kemudian ia isap. Musik The Hollies memang asyik dinikmati sembari merokok, begitu kata hati Ali Topan.

la melamun. Dikepulkannya asap rokok menjadi bulatan. Begitu terus-menerus, sampai asap memenuhi kamarnya. Dan ia terbatuk-batuk oleh rokok itu.

"Waduh, waduh! Asep rokoknya kayak asep sepur saja, Den Bagus. Jadi sumpek dong, kamarnya. Itu kan, udah mulai batuk-batuk," kata Mbok Yem.

Ali Topan mengangkat kedua kakinya ke atas, kemudian dengan gaya akrobatik ia melenturkan kaki itu ke kasur. Dengan cara itu ia duduk di tempat tidurnya. la meyemburkan asap rokok ke arah MbokYem.

"Owalaah! Kok MbokYem malah disembur sama asep rokok. Sudah, brenti ngrokoknya, Den Baguuus! Nggak baik, masih sekolah sudah banyak ngrokok. Ini, minum air jeruk saja biar seger buger," kata Mbok Yem. la memberikan gelas pada Ali Topan.
"Terima kasih, Mbok," kata Ali Topan, lalu diminumnya air jeruk itu sampai habis!

MbokYem geleng-geleng kepala menyaksikan kelakuan anak asuh yang dia sayangi itu. Ali Topan, selesai minum, mengangsurkan gelas pada Mbok Yem. Mbok Yem mengambil gelas itu dan menaruhnya di dekat radio. Kemudian perempuan tua itu duduk di tepi tempat tidur. Tangannya mengelus rambut dan dahi Ali Topan dengan penuh kasih sayang.

"Kok anget, Den Bagus. Sakit ya? Implensa?" kata Mbok Yem. Ali Topan memegangi tangan Mbok Yem. "Eh. Mbok. Kalau manggil aku nggak usah raden bagus raden bagusan, kenapa siiih? Kayak panggilan ketoprakn aja. Nggak betah kupingku dengernya!" kata Ali Topan.
"Lho, habis mau panggil apa? Apa mau panggil Den Ayu? Den Ayu itu panggilan buat perempuan, Den Bagus. Masa gitu dibilang kayak ketoprak. Yang bener aja dooong," kata Mbok Yem.
"Panggil saja mack gitu, atau jack juga boleh." "Mek? Jek?Apa itu?"
"Aah, bodo lu Mbok, ah. Eit, sorry, bukan bodoh, tapi belum paham cara panggil orang modern," kataAli Topan. Ia menyeringai.
"Biarin dibilang bodo. Memang MbokYem bodo, Mbok Yem nggak sekolah, biariiin. Kalau MbokYem pinter kan nggak jadi babu, Den Baguuuus," kataMbok Yem. Ucapannya bernada pasrah, dan itu sama sekali bebas dari rasa tersinggung atau rasa lain yang sejenis itu.

Ali Topan mencium punggung tangan Mbok Yem. Mbok Yem ternganga. Lalu senyum arif. la tahu bahwa majikan mudanya itu juga sayang padanya. Majikan mudanya itu, walaupun omongannya suka sembrono, tapi hatinya baik dan peka. Ia sayang majikan mudanya, seperti sayangnya pada anaknya sendiri yang kini ikut suaminya setelah mereka bercerai.
"Mbok, tolong bukain jendela dooong," pinta Ali Topan. Segera Mbok Yem melaksanakan order itu. la buka jendela dan mengipas udara kamar dengan serbet yang selalu tersampir di pundaknya.
"Jangan keliwat banyak ngrokok, Den Bagus. Nanti sakit. Kalau sakit kan Mbok yang repot," kata MbokYem. Ali Topan memandang MbokYem. la tersentuh oleh ucapan perempuan itu. Tanpa bicara, Ali Topan mematikan rokok di asbak dekat radio. Mbok Yem tersenyum padanya. Ali Topan pun tersenyum pada Mbok Yem.
“kalao bukan Mbok Yem siapa lagi yang mau repot? Apa Mbok Yem nggak mau direpotin? Kalau nggak mau direpotin, bilang dong dari kemaren..."' kata Ali Topan dengan nada mengrajuk.
"Bukan gituuu, Den Bagus. Kalau den bagus sakit, mbok kan sediiih. Mbok sih mau saja direpotin. Kan Mbok sudah pasrah nglakoni hidup ini sebagai abdi di sini.kan mbok memang kerja buat repot-repot Den Bagus," kata Mbok Yem.(bersambung)

Sumber: kompas.com

Ali Topan Anak Jalanan (16)


Masih ada teman setia Ali Topan di kamar itu. Buku-buku. Segala macam buku. Ada buku politik Sang Pangeran karya Niccolo Machiavelli dan beberapa buku karya Bung Karno serta kumpulan pidato presiden pertama Republik Indonesia itu.

Ada buku sejarah, terutama sejarah pergerakan kebangsaan dan sejarah Indonesia lama, juga buku-buku biografi. Ada buku novel pop. Komik Jan Mintaraga dan Teguh Santosa. Buku kumpulan syair Bob Dylan dan berjilid-jilid buku serial silat China. Dan... di antara buku-buku itu terkadang ada buku stensilan yang kalau ditinjau dari segi pornografi, cukup mengasyikkan!

Ali Topan menutup pintu kamar dan menguncinya. Ia berjalan ke radio. Dihidupkannya radio itu, dan diputarnya gelombang J&R.

"Penyiar Johnny dan operator Ikhsan sedang repot menghibur teman-teman di rumah yang sedang belajar atau ngelamun. Semoga musik yang kami putarkan dari studio dapat melenyapkan lamunan buruk dan mendatangkan impian indah serta rejeki di malam ini. He he he ... ," demikian suara penyiar J&R.

Suara ketawa he he he itu disambung dengan musik manis dari The Hollies, Too Young Too Be Married. Ali Topan merebahkan dirinya ke tempat tidur. Matanya terpejam. la menikmati suasana sendiri. Sendiri.

Tiba-tiba ia melompat bangun dan duduk di lantai beralas tikar pandan. la mengambil sebuah buku dari dalam tasnya dan mengambil foto-foto yang dicetak Gevaert tadi. Foto Nyonya Amir dan seorang anak muda yang sedang berpelukan, tertawa-tawa dan bermesraan di kolam renang.

la gelar foto-foto itu di atas tikar pandan, dan ia pandangi dengan cermat untuk memastikan apakah wanita berpakaian renang hitam polkadot putih itu benar-benar mamanya.

Sesungguhnya, fakta itu telah pasti. Matanya pun tak sangsi. Namun ada suatu keinginan dalam hatinya, bahwa wanita dalam foto itu bukan mamanya.

Ali Topan sedih sekali menghadapi kenyataan yang bahkan dalam mimpi pun tak pernah diharapkan terjadi oleh seorang anak yang mendambakan ibunya seorang wanita utama. Bukan seorang tante girang jalang yang terkenal di kawasan Kebayoran.

Sudah cukup lama sekitar delapan bulan omongan jelek tentang mamanya yang suka "main" dengan anak-anak muda itu ia dengar dari teman-temannya penyiar-penyiar radio di Kebayoran. Ia pernah menyampaikan gosip itu ke mamanya. Apa kata si mama? "Kamu nggak usah ikut campur urusan orangtua," begitu kata mamanya. "omongan begitu kok didengar. Mana buktinya”lanjut mamanya.

Tapi hari ini Ali Topan memegang bukti itu yaitu foto-foto hasil potretan Gevaert. Ternyata Gevaert telah cukup lama menyimpan filmnya. Tapi baru tadi malam ia memberi tahu Ali Topan lewat telepon.

"Tadinya gue mau bakar film itu, Pan. Karena gue pikir lu bisa marah ke gue dan persahabatan kita putus. Tapi... gue mikir lagi, lu pernah tulis di buku gue bahwa kita nggak boleh lari dari kenyataan. Don't run away from reality," begitu kata Gevaert lewat telepon.

"Kalau lu bakar itu film, lu bukan kawan gue, Vaert," kata Ali Topan.
"Besok kita cetak itu foto. Tapi Bobby sama Dudung nggak perlu tau."

Lewat telepon itu Gevaert bercerita lagi bahwa sebulan yang lalu ketika ia disetrap tiga hari gara-gara tertangkap bawa buku porno ke sekolah, ia tiap hari berenang di kolam renang Senayan. Surat dari wali kelas untuk orangtuanya ia bakar. Dan ia menulis sendiri surat permintaan maaf dengan mesin tik dan memalsu tanda-tangan ayahnya.

"Pada hari kedua gue ke kolam renang itu, sekitar jam sepuluh, gue liat mama lu sama cowok. Diem-diem gue ambil tustel gue, terus gue potret mereka pake lensa tele..," cerita Gevaert tentang bagaimana ia secara kebetulan memotret Nyonya Amir dan cowoknya.(bersambung)

sumber: kompas.com

Senin, 15 September 2008

Ali Topan Anak Jalanan (15)


Pak Amir menengok ke arah anaknya. Ali Topan tepat membalikkan badannya dan mereka pun bertatapan. Sinar mata Ali Topan menatap mata ayahnya seperti orang asing.
"Ada apa papa?" kata Ali Topan. la melangkah mendekati tempat duduk ayahnya.
“Duduk situ papa mau tanya sesuatu!" kata Pak Amir. Topan duduk di depan ayahnya. "Tanya ape?"
“Kemane saja kamu? Gini hari baru pulang."
“Biasa-biasa saja,Pa"
“Biasa-biasa saja bagaimana? Kamu ini kalau ditanya orangtua, selalu menjawab seenaknya saja. Biasa-biasa, jawaban macam ape itu! Sembarangan!"

Ali Topan melihat ke arah ayahnya. Dengan gaya santai mengangkat kakinya dan mencabut sebatang rokok dari tempat "khas" itu. Ia nyalakan rokok dengan korek api Ronson milik ayahnya yang tergeletak di meja.

“Gaya kamu itu lho yang bikin orang nggak tahan! Tahu ape tidak kamu? Gaya kamu itu macemnya koboi tengik. Sama sekali tidak ada respeknya sama orangtua. Ada orangtua duduk, dilewati saja tanpa bilang numpang lewat kek atau permisi kek atau kentut pun tidak. Nyelonong saja. Apa kamu menganut model Slonong Boys ya?" kata Pak Amir. Kesal betul die.
"Abis kalau nggak ada perlunya bilang apa-apa, mau bilang apa? Saya bosen basa-basi. Soalnya.. ."Terbayang olehnya foto-foto mamanya di kolam renang.
"Soalnya kenapa? Soalnya kamu saja yang tidak tahu aturan. Apa di sekolahmu memang tidak diajar etiket dan sopan santun!"
"Udah, udah deh, nggak usah bawa-bawa sekolah, etiket atau sopan santun segala. Percuma belajar sopan santun kalau yang mengajari juga tidak mau memakai sopan santun itu," kata Ali Topan. Dia hendak bangkit, tapi ayahnya menyuruh tetap duduk. Geram betul Pak Amir mendengar omongan anaknya yang dianggap asal bunyi itu. la tak tahu rasa hati anaknya.
"Dari mana kamu?" kata Pak Amir. Nadanya melunak. "Biasa. "
"Kamu nggak punya persediaan kata-kata lain kecuali biasa-biasa itu, he? Gayamu itu lho, bikin orangtua pusing. "
Ali Topan diam saja. Dia menikmati rokoknya dengan gaya orangtua. Matanya mengawasi asap rokok yang dibuatnya bundar-bundar.
"Jadi kebiasaan sekolah sekarang ini berangkat pagi pulangnya malam, begitu?" kata ayahnya.
"Iya. Seperti orang kantoran," kata Ali Topan. "Orang kantoran bagaimana?"
"Banyak teman saya bilang, bapak mereka kalau berangkat pagi, pulang ke rumah pagi lagi. Kadang-kadang nginep di motel sama cabo!"

Alis Pak Amir terangkat tiba-tiba. "Kau nyindir aku, heh?" katanya. Matanya melotot. Wajahnya merah seperti tembaga. Dia merasa tersindir betul.
Ali Topan menatap mata ayahnya dengan hati mantap.
Kemudian ia berdiri dan berjalan meninggalkan sang ayah yang tiba-tiba berlagak seperti orang pilon. Ali Topan masuk ke kamarnya. Ayahnya berjalan ke kamar mandi. Mbok Yem melihat dari celah pintu dapur.

Di dalam kamar, Ali Topan menekan tombol lampu di dekat pintu. Plap! Lampu menyala, kamar jadi terang benderang. Ali Topan tegak menatap ruang pribadinya itu. Matanya redup memendam keperihan. Tapi mata itu tiba-tiba menyala ketika memandang sebuah poster besar yang terpampang di dinding, di atas tempat tidumya. "A house is not a home," demikian kalimat di poster itu.

Ali Topan membeli poster itu dari sebuah toko di Blok M. Poster itu ia beli dengan uangnya sendiri, sebagai hadiah ulang tahun untuk dirinya sendiri. Barangkali lucu, tapi begitulah halnya. Poster itu berukuran 70x90 cm, bergambar sarang laba-laba di atas dasar hitam. Tulisannya kelabu muda.

Sebuah radio merk Phillips terletak di meja kecil di dekat tempat tidumya. Radio itu juga merupakan teman sekamar Ali Topan, sebagai penghibur hati. Pemancar radio yang disukainya adalah Bonaparte dan Juliet & Romeo (J&R).

Bonaparte yang terletak di Jalan Leuser disukainya karena selalu memutarkan musik pop dari The Beatles dan Koes Bersaudara yang dikaguminya. la memang penggemar fanatik The Beatles. Sedangkan J&R yang terletak di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, disukainya karena studio itu pintar memilih musik yang cocok dengan suasana untuk mengiringi pembacaan syair lagu-lagu folk, balada dan country tahun 60-an, 70-an dan lagu-lagu pop.(bersambung)

sumber: kompas.com

Minggu, 14 September 2008

Ali Topan Anak Jalanan (14)


TIGA

Senja bergerak. Matahari jam lima lewat beberapa detik pun bergerak. Biasan sinar kuning merah jingga mewarnai langit kelabu putih di arah Barat. Biasanya warna senja itu pun mengenai sebuah rumah putih-biru di jalan Cipete di Kelurahan Cilandak.

Rumah itu terletak di tanah seluas 700 meter persegi. Bentuknya bergaya Joglo menghadap ke arah Timur. Dindingnya putih, kayu-kayu kusen, pintu, dan risplangnya biru tua.

Dengan paviliun dan garasi mobil di sayap kanan dan kiri rumah buatan tahun 1956 itu, total luas bangunannya 350 meter persegi. Halamannya ditanami rumput gajah. Tanaman bluntas mengelilingi halaman berpagar besi yang sewarna dengan pintu rumah. Pohon-pohon palem besar berjajar di tepi jalan depan rumah yang berhadapan dengan taman kota seluas 600 meter persegi. Pohon mangga Indramayu di depan garasi sedang berbunga. Sedangkan pohon rambutan Aceh Pekat di depan paviliun belum lagi berbuah.

Angin semilir membawa debu. Sebuah Fiat Sport warm tembaga masuk ke halaman rumah itu, berhenti di depan teras. Pak Amir, ayah Ali Topan turun dari mobil, berjalan menuju pintu rumahnya. Tangan kanannya membawa Samsonite, tangan kirinya menenteng jas. Dasinya yang sudah dilonggarkan sejak dari dalam mobil, melilit di lehemya.

Bajunya merk Kern kotak-kota putih-kelabu muda dengan dua kancing atas dibuka memberi kesan `mboys', gaya muda. Tubuhnya tinggi, 170 cm,, atletis, melangkah tegap. Wajahnya oval, ganteng dengan kumis dan rambut dicukur rapi, memberi kesan lebih muda dari usianya yang 49 tahun. la seorang pemborong bangunan yang sukses. Anaknya tiga orang. Boyke, Windy, dan Ali topan. Boyke sejak dua tahun yang lalu ia sekolahkan ke australia.

Pintu rumah dibuka oleh Mbok Yem, pelayan keluarga yang sudah 13 tahun bekerja.
“Bikinin madu telor, Mbok. Aku capek sekali," kata pak amir
“ Ya Ndoro," jawab MbokYem.

Dia menutup pintu, lari ke dapur untuk membuatkan madu telor majikannya. Pak Amir berjalan santai ke dalam.

Mbokyem seorang janda asal Semarang yang berusia 51 tahun. Suaminya seorang penjaga pintu kereta api menceraikannya karena mau kawin lagi. Anaknya dibawa oleh suaminya. MbokYem kemudian merantau ke Jakarta, bekerja pada keluarga Amir sejak Ali Topan berumur 5 tahun. Mbok Yem bertubuh kurus, agak tinggi dan rambutnya selalu digelung. Wajahnya bundar, suka menginang dan menyanyi tembang-tembang Jawa lama. la sangat menyayangi Ali Topan yang ia asuh dengan cinta.

Pak Ihin, sopir Pak Amir, memarkir mobil di bawah pohon rambutan. Sopir setengah tua yang bernama lengkap Solihin itu membuka kap mesin mobil, untuk mendinginkan udaranya. Lalu ia memasang pipa plastik dan membuka keran untuk mencuci mobil.

Di dapur, Mbok Yem mengaduk madu Sumbawa dan dua butir telur ayam kampung yang sudah diberi jeruk nipis secukupnya.
"Ndoro Kakung sekarang sering bener minum madu telor. Setiap hari due kali. Gawat," Mbok Yem berbicara sendiri sembari menata gelas berisi madu telor den air sirup markisa di baki. la tak sadar bahwa majikannya sedang berdiri menunggu di depan pintu dapur.

"Hm! Hm!" Pak Amir berdehem, Mbok Yem terperanjat. "Ngomong ape kamu, Yem. Gawat, gawat ape?" tanya Pak Amir.
"Eh saya jadi kaget. Ini madu telornya sudah siap, Ndoro," kata Mbok Yem. Wajahnya menunduk.

Mbok Yem membawa jamu itu ke ruang tengah. Majikannya membuntuti dari belakang. Begitu gelas jamu itu ditaruh di meja, langsung Pak Amir meminumnya cepat-cepat. Kemudian ia mencuci mulutnya dengan es sirup markisa. la duduk bersantai di kursi ruang tengah untuk memberi kesempatan madu telor masuk ke dalam perutnya.

Suara motor yang bising membuatnya tersentak. Ali Topan datang. la memarkir motornya di dekat sopir yang sedang mencuci mobil ayahnya.
"Selamat sore, Den," sapa Pak Ihin.
"Eh, papa mau nglayab ke mane lagi malam ini Bang ihin" tanyaA]i Topan.
"Saya tidak tahu, Den."
"Mau main perempuan lagi ya. Dapet komisi berapa kamu?" kataAli Topan sambil berjalan masuk ke rumah. Pak sopir mengernyitkan dahi, dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ucapan Ali Topan rupa-rupanya menancap di hatinya.
Masuk ke ruang tengah, Ali Topan melihat ayahnya, sedang mengisap cerutu. Tanpa mengucap apa-apa dan tidak menggubris ayahnya, Ali Topan nyelonong ke kamarnya di bagian belakang ruang itu.wajahnya kusut.

"Ali!" bentakan ayahnya membuat Ali Topan berhenti. Diem saja di tempatnya. Seperti patung. "Sini kamu!" kata ayahnya. (bersambung)

sumber: kompas.com

Jumat, 12 September 2008

Ali Topan Anak Jalanan (13)


Di ruang itu ada lampu kecil 5 watt berwarna hijau menyala di dinding. Sinarnya temaram. Lampu itu dihubungkan dengan sakelar yang dipaku pada sebuah meja kayu yang merapat ke dinding.

Di atas meja itu ada enlarger atau alat pembesar gambar dalam film berbentuk seperti kubah kecil. Di bagian atas kubah alat itu ada lampu spot untuk menyoroti film yang diletakkan oleh Gevaert pada lensa pembesar di bagian bawahnya. Di dekat alat pembesar gambar itu ada baskom plastik berisi larutan bromide untuk menimbulkan atau mencetak gambar pada kertas foto yang diletakkan pada suatu papan putih yang diberi alat pengukur kertas. Di sebelahnya ada satu baskom lagi berisi H2O alias air untuk membilas kertas foto dari larutan bromide, dengan cara merendam dalam air itu.

Gevaert bersiap mengoperasikan alat pembesar gambar. Ali Topan berdiri di sampingnya. Ia tegang jantungnya berdetak lebih kencang.
"Okey, kita lihat dulu gambarnya," kata Gevaert. la memadamkan lampu hijau, hingga ruang itu gelap gulita. Lalu ia menyalakan lampu spot yang segera menyorotkan film di bawahnya. Gambar dua orang seorang wanita dan seorang lelaki muda sedang berpelukan di tepi kolam renang terpeta pada bidang putih di atas meja.

Ali Topan menarik dan mengeluarkan udara berat lewat hidungnya. Gevaert mengatur fokus pada alat pencetak foto itu, hingga bayangan dua orang itu agak jelas.

Gevaert memadamkan lampu spot. Dan segera mengambil bungkusan kertas foto berukuran kartupos dari kotak kertas di laci meja. la mengambil selembar kertas foto berukuran kartupos dan segera membungkus kembali lembaran-lembaran kertas foto lainnya, serta memasukannya ke laci.

Gevaert menaruh keras foto pada bidang pencetakannya. Lalu ia menyalakan lampu spot sekejap, sekitar dua atau tiga detik. Dan memadamkannya kembali. Kertas foto yang telah disinari tadi segera ia masukkan ke dalam baskom berisi larutan bromide. Kemudian ia mencetak lagi foto lainnya hasil potretannya.

Usai proses pencetakan foto itu, Gevaert menyalakan lampu biasa untuk menerangi ruang dan membuka pintu untuk mengusir kepengapan. Sementara itu, wajah Ali Topan tegang mengawasi foto-foto ibunya sedang bercumbu dengan seorang anak muda di kolam renang, yang sedang berendam dalam baskom berisi air.

Gevaert menepuk lengan Ali Topan. "Sorry, Pan... kalau hasil potretan gua itu bikin lu nggak enak ati...," kata Gevaert.
Ali Topan memandangi teman baiknya itu. "Terima kasih, Vaert... terima kasih...," kata Ali Topan dengan suara sangat sedih.

"Dua kali lu nolong gue... ngedapetin bukti tentang kebrengsekan orangtua gue... Gue nggak bakal lupain itu... Lu bener-bener sahabat gue..." lanjutnya. Air bening mengalir dari sepasang mata dukanya.

Gevaert ikut berlinangan airmata. Segera ia mengelap foto-foto itu dengan kain putih. Dan mengeringkan foto-foto itu dengan pengering rambut. Kemudian memberikan foto-foto itu kepada Ali Topan.

Ali Topan menyelipkan foto-foto itu di sela-sela buku pelajarannya. Lalu ia pamit kepada Gevaert sambil mengusap airmatanya. Gevaert memandangi Ali Topan mendorong motornya ke tepi jalan. Setelah menghidupkan mesin motornya, Ali Topan menengok ke arah Gevaert dan melambaikan tangannya. Gevaert membalas lambaian sahabat yang ia kagumi itu.

Dan airmatanya pun mengalir karena ia turut merasakan betapa perih rasa hati sahabat yang selama ini selalu membela dia bila dia mengalami kesulitan. (bersambung)

sumber: kompas.com

Kamis, 11 September 2008

Ali Topan Anak Jalanan (12)


Jam dua belas seperempat siang, Ali Topan dkk masih duduk-duduk di bawah pohon-pohon cemara di tepi Lapangan Bola Blok S di jalan Senopati. Mereka minum es cincau. Beberapa orang lain minum es cincau pula.

Ali Topan melihat ke arah matahari. "It's time to cabut, friends," katanya. Ia mengambil uang Rp 200 dari saku celananya yang ia berikan ke Tukang jual es cincau yang duduk di bangku kecil di antara dua gentong kayu berisi cincau.

Ali topan dkk berjalan ke motor trail masing-masing dan parkir di pinggir lapangan Merdeka. Ali Topan menepuk bahu Gevaert di sampingnya, dan mengerjapkan matanya tanpa diketahui Dudung dan Bobby. Itu kode. "Atraksi dulu, muterin lapangan, lalu kita ke rumah orang tua masing-masing," kata ali topan.

Bersamaan mereka menghidupkan motor masing-masing. Gas dimainkan, suara knalpot motor itu nyaring memekakkan telinga.
“lets go!" teriak Ali Topan sambil memacu motomya diikuti teman-temannya. Mereka memacu mengelilingi lapangan searah jarum jam dalam formasi barisan. Setelah selesai putaran pertama, mereka formasi berjajar empat. Tukang cincau dan manusia lainnya yang menonton bertepuk tangan.

Putaran kedua Ali Topan mengangkat tangan, diikuti teman-temannya. Lalu mereka keluar lapagan diiringi tepuk tangan dan sorakan para penonton. Mereka masih bersama sampai perempatan jalan Senopati - Wijaya. Lalu Ali Topan dan Bobby terus ke jalan Wjaya, sedangkan Dudung dan Gevaert belok kanan be arah CSW.

Di cabang jalan dekat kompleks PTIK, Bobby belok kanan ke arah jalan Tirtayasa, sedangkan Ali Topan terus. Bobby mengira Ali Topan akan langsung pulang ke rumahnya di Cipete, kawasan Selatan luar Kebayoran Baru. Ternyata tidak. Ali Topan melaju ke rumah Gevaert di jalan Radio Dalam. Ada suatu rahasia yang akan diperlihatkan oleh Gevaert kepada Ali Topan.

Gevaert telah menunggu di bangku bambu di bawah pohon ceri di halaman rumahnya, ketika Ali Topan datang. Rumah orang tua Gevaert kecil, bercat putih, tapi tampak bersih dan rapi. Ali Topan memarkir motornya berdampingan dengan motor Gevaert di bawah pohon ceri. la memetik beberapa buah ceri.
""Nyak lu ada?" tanya Ali Topan.
"Lagi di Cipanas sama babe gue," kata Gevaert.

"Lu mau nunggu di sini atau mau ngikut ke kamar gelap?" lanjutnya.
"Gue ngikut aje..."' kata Ali Topan. Suaranya tersendat. Wajahnya muram.

Gevaert punya studio kecil di sudut halaman rumahnya, yang ia jadikan kamar gelap dan tempat penyimpanan hasil karyanya serta buku-buku fotografi. Ali Topan suka hasil foto Gevaert utamanya yang hitam putih. Tapi ia sendiri kurang atau belum berminat mendalaminya, walau Gevart ingin mengajarinya. Ali Topan cukup memahami teori dasarnya saja dari buku yang ia baca di studio Gevaert beberapa bulan yang lalu.

Mereka sudah berada di dalam studio foto. Gevaert mengambil segulungan film hitam putih yang telah ia cuci. Lalu ia menggelar gulungan film itu dan memperhatikannya di depan lampu.

Ruang studio itu berukuran tiga meter persegi yang dibagi dua dengan dinding triplek berpintu kecil. Ruang berpintu itu adalah kamar gelap tempat Gevaert mencuci dan mencetak film-filmnya. Gevaert dan Ali Topan masuk ke ruang itu. Beberapa minggu yang lalu Ali Topan pernah ikut mencetak film di ruang gelap ini. la tidak tahan bau larutan bromide yang dipakai untuk menimbulkan gambar atau foto.

Waktu itu ia cuma bertahan beberapa menit saja, mangkin karena belum biasa. Tapi sekarang ia bertekad mengikuti proses pencetakan beberapa foto oleh Gevaert sampai selesai. (bersambung)

sumber: kompas.com

Ali Topan Anak Jalanan (11)


Untuk kegembiraannya itu Dudung tak segan-segan mengeluarkan uang guna mentraktir teman-temannya, hampir setiap saat. Ali Topan, Bobby dan Gevaert senang saja dengan kebaikan Dudung itu. Tapi mereka juga tahu diri. Kadang-kadang mereka bergantian mentraktir jika Dudung sedang tongpes karena kiriman uang dari "abahnya" terlambat datang.

Pak Amin menyodorkan dua mangkok bakmi baso. Gevaert membagi semangkok dengan Ali Topan. Bobby membagi yang semangkok lagi dengan Dudung.
"Kalian ini rukunnya melebihi saudara kandung. Enak dilihatnya," kata Pak Amin.
"Kalau enak tambahin basonya dong," kata Ali Topan. Pak Amin tersenyum.
"Doo, dimintain basonya cuma senyum saja dikau," kata Ali Topan.
"Beliau khawatir kalau terlalu banyak menderita rugi. Ntar kagak bisa ngembaliin kredit investasi kecilnya," kata Bobby.
Ali Topan, Gevaert dan Dudung menengok ke Bobby. Mereka menampakkan wajah heran.
"Lu tau-tauan kredit investasi kecil. Siapa yang ngajarin, Bob?" Tanya Ali Topan.
"Pemerentah kan? Pemerentah kita kan ahli dalam soal kredit. Gimana sih lu? Nggak pernah baca koran ya? Percuma dong babe gue jadi Direktur Bank kalau anaknye kagak ngah soal kredit," kata Bobby.
"Oh iye, gue lupa. Memang anak pinter lu," kata Ali Topan.
"Tampang kayak Bobby ini ada bakat jadi tukang ngelipet kredit kalau dia jadi pembesar," kata Gevaert.

"Pssst! Jangan omong begituan ah. Nanti ada yang dengar bisa gawat," bisik PakAmin. Wajahnya kentara betul ngeri mendengar obrolan anak-anak yang bebas aktif itu.

"Gawat kenape? Kalau kita makan baso nggak bayar itu baru gawat. Tapi kalau sekali-kali ngutang sih nggak apa-apa, iya apa nggak, macks?" kata Gevaert, "yang penting kan bayar. Pemerentah kita kan juga suka ngutang sama IGGI," tambahnya.
"Apa itu IGGI. Tentara?" tanya Dudung.

"Tentara?" Bobby bertanya, dahinya dikernyitkan. "Tentara Amerika kan begitu namanya. "
Bobby menyentuh Dudung dan mendorongnya ke belakang.

"Wayyo! Tentara Amerika itu GI, bukan IGGI, bego!" kata Bobby.
"Orang dari daerah susah deh. IQ-nya jongkok terus," kata Gevaert.
"Lu jangan bilang begitu, Vaert. Ntar gue nggak bayarin, baru nyaho lu," gerutu si Dudung.
"Sik. Pakek main gertak lu. Sorry deh kalau tersinggung," kata Gevaert.
"Ngomong-ngomong, abis makan baso nggak enak kalau nggak disambung pakek Dji Sam Soe. Gimana caranya, Dung?"
"Oh, beres, Boss," kata Dudung.

Dia bangkit, dan pergi ke kios rokok di depan sebuah apotik. Jalannya mengesankan betul seperti orang desa yang baru panen. Orang tua Dudung petani kaya yang punya berhektar-hektar Sawah di Kuningan di Jakarta dia tinggal bersama bibinya di desa Petukangan Selatan, Kebayoran Lama, sekitar empat kilometer dari Mayestik.

"Lu, pinter aje motong kompas, Pan," Bobby nyeletuk. Ali Topan cuma nyengir saja. Dia repot mencungkil sisa-sisa bakmi yang menyelip di antara giginya.
Dudung datang bawa rokok Dji Sam Soe. Bungkusan rokok yang belum dibuka itu diberikan pada Ali Topan. "Ente yang merawanin, Boss," katanya.

Pak Amin menekap mulutnya mendengar ucapan Dudung. Dalam batinnya dia berkata, anak jaman sekarang omongannya nggak kira-kira.

"Jadi berapa duit semuanya, PakAmin?" tanya Dudung. Dia ambil seribu rupiah dari dompetnya.
"Enem ratus saja. Pakai kembali apa nggak?" kata Pak Amin.
Dudung memberikan uangnya. "Kalau mau berantem sama kita sih boleh nggak pakek kembali, Pak Amin," katanya. Pak Amin cuma terkekeh-kekeh. Dia memberikan uang kembalian pada Dudung. "Terima kasih ah," katanya.

Ali Topan, Dudung, Gevaert dan Bobby menyemplak motor masing-masing. Rokok Dji Sam Soe menyelip di bibir mereka. Tak lama kemudian, 4 sekawan itu tampak mengendarai motor mereka secara sopan.
"Ke mane kite?" tanya Bobby. "Ke mane kek," jawab Ali Topan.
Ke mane kek itu berarti pergi ke mana saja tanpa tujuan yang jelas. Mereka berkeliling Kebayoran, sampai waktu biasanya pulang sekolah. (bersambung)

sumber: kompas.com

Selasa, 09 September 2008

Ali Topan Anak Jalanan (10)


Dudung dan Gevaert yang berendeng di belakang mereka mencoba ke depan. Tapi dihalang-halangi oleh Ali Topan dan Bobby yang merapatkan formasi.
"Hey, bagi gua jalan dong," Teriak Dudung.

Ali Topan menoleh ke belakang. "Lu kire kue minta dibagi-bagi?" katanya. Lalu dia menancap gas motomya, diikuti Bobby, Dudung dan Gevaert mencoba menyusul.
Mereka pun kebut-kebutan lagi, menuju Pasar Mayestik, Kebayoran Baru.

Jarak Pasar Minggu ke Mayestik sekitar 10,5 Km, mereka tempuh dalam waktu 8 menit, melalui Jalan Gatot Subroto, Jembatan Semanggi dan Bunderan Senayan. Mayestik atau Mestik berasal dari nama bioskop Mayestic yang terletak di Jalan Kiai Maja, di dekat Taman Puring.

Kawasan situ adalah kawasan pertokoan yang pedagangnya kebanyakan orang Minang. Orang-orang Padang demikian sebutan umum orang Jakarta untuk semua orang Minangkabau-banyak pula yang menjadi penjahit, dan buka rumah makan di situ. Sedangkan para penjual buah-buahan dan daging, kebanyakan orang Betawi sebutan umum untuk warga Jakarta "asli".

Pasar Mayestik tidak sebesar Pasar Melawai, dan harga barang-barang di situ pun lebih murah dari pada Pasar Melawai.
Mereka langsung menuju ke kedai Pak Amin, penjual bakmi baso langganan mereka yang berdagang di ujung Jalan Tebah di bagian belakang Pasar Mayestik. Blok E. Kebetulan Pak Amin baru menyiapkan dagangannya.

"Lho, gini ari sudah nongol di sini. Apa nggak sekolah nih?" tanya Pak Amin.
"Ya sekolah, sekolah.. . yang ke sini,ke sini...;' sahut Ali Topan, "udah ada yang bisa dimakan Pak Amin?" tambahnya.
"Ada, sudah siap. Sabar sebentar, ya."
"Air tehnya duluan deh. Aus nih kerongkongan kite," kata Gevaert.
"Tuangin sendiri dah. Kayak orang baru aje," kata Pak Amin.

Gevaert mengambil gelas 4 buah, lalu mengisikan air teh panas untuk minum dia dan teman-temannya. "Makasih ah;" kata Ali Topan ketika Gevaert mengangsurkan segelas air teh kepadanya, "ada bakat jadi waiter lu," tambahnya.
"Waiter apaan sih?" tanya Dudung.
Gevaert melirik ke arah Dudung. "Waiter itu tukang ngelapin paha hostess di niteclub. Mau lu jadi hostess, eh waiter?" kata Gevaert. "Sik, waiter aja kagak ngah. Dasar orang Kuningan lu," tambahnya.

Dudung cuma cengar-cengir saja. "Kuningan itu tempatnya orang sakti, bego," cetusnya.
"Ngomong-ngomong dari mana kalian? Keringatnya kok deras begitu?" tanya Pak Amin.
"Udah deh, jangan nanya-nanya, laksanain tugas Anda saja, buruan," kataAli Topan, "kite belon makan baso nih dari kemaren," tambahnya.

Pak Amin segera menyodorkan bakmi baso yang disajikannya dalam mangkuk.
"Sambelnya ambil sendiri semaunya! Pak Amin bikin dua botol hari ini," kata Pak Amin. "Nah, selamat makan deh," tambahnya.
“Bismillahi rohmanir rohiiim," Dudung ber-Bismillah sembari meniup-niup kuah baso dan menyeruput kuah dengan mulutnya.
Ali topan juga ber-Bismillah.
Bobby yang Katolik dan Gevaert yang Protestan berdoa
kalau semua pembeli saya seperti kalian semua, bisa bawa berkah. Laris terus dagangan saya," kata Pak Amin, “anak-anak jaman sekarang jarang ada yang inget Tuhan,"jelasnya.
"Kalau anak-anak muda sih inget terus, Pak Amin. Yang suka lupa sama Tuhan itu kan orangtua-orangtua masa kini," kata Ali Topan.

Ketiga temannya cuma mengangguk. Mereka asyik makan bakmi baso yang hangat dan gurih berkat garem Madura.
Cepat sekali mereka makan. Gevaert usai lebih dulu. "Boleh nambah, Dung?" tanya Gevaert.
“Bikin aje dua mangkok lagi. Kita nambah setengah-setengah," kata Dudung.
"Lu emang remaja yang baik, Dung. Sering-sering ah begitu," kata Bobby. Dudung ngakak mendengar pujian itu. Sebagai anak "daerah," dia cukup gembira bisa berteman dengan Ali Topan, Bobby dan Gevaert yang dianggapnya sangat "top" dan "modern". (bersambung)

Sumber: kompas.com

Senin, 08 September 2008

Ali Topan Anak Jalanan (9)


Kemudian ia duduk, menepiskan kaki Ali Topan yang masih menginjak pantatnya.
"Eh, itu ngapain Gevaert terbirit-birit kayak orang gila?" Ali Topan berkata sambil tangannya menunjuk ke arah Gevaert yang sedang kencang berlari ke arah mereka.
"Eh, Vaert, udah gila lu?" kata Ali Topan.
Gevaert cuma menjawab dengan ah, uh, ah, uh saja. Nafasnya tersengal-sengal. la menubruk Ali Topan. Mereka jatuh bergulingan.
"Vaert! Jangan becanda lu pagi-pagi," kata Ali Topan. Gevaert bangkit segera. la menunjuk ke arah gerumbulan pohon.
"Ah, uh, ah ... gua mau ditembak orang, Pan. No, di sono tuh orangnye ... "

Ali Topan melihat ke arah tunjukan Gevaert. Dudung dan Bobby langsung berdiri, melihat ke arah yang sama. "Mana dia orangnye? Biar gua embat dial" kata Ali Topan.
"Itu, itu dia lagi ngeliat kemari."
"Buset, potongannya sih kayak pensiunan KKO ning!. Lu cari gara-gara apa sama dia Vaert?" tanya Ali Topan. "Gua bidik dia lagi miting cewenye. "
"Set, dianye kemariin. Cabut aje buruan, njing. Tampangnye kayak kuli begitu, repot kita ngelawan die. Potongan begitu, kita yang nabok kita yang sakit," kata Bobby.
"lye. Sangar tampangnye, Bob. Udah jangan cari penyakit deh. Cabut, cabut," kata Dudung. Dia bersiap mengambil langkah seribu.
"Uuh, lu Vaert, ngrusak acara aje. Uh!" kata Ali Topan. Dengan gemas dia ketuk kepala Gevaert.

Gevaert menyeringai. Tanpa banyak pernik lagi dia menyusul Dudung dan Bobby yang sudah berlari meninggalkan tempat itu, menuju tempat parkir motor mereka.

Ali Topan melihat ke arah lelaki yang sedang marah-marah di samping perempuannya. Lelaki itu mengepalkan tinjunya ke arah Ali Topan. Ali Topan balas mengacungkan tinjunya. Kemudian berlalu menyusul teman-temannya, sembari ngakak!

Bobby, Dudung dan Gevaert sudah nangkring di atas sadel motor masing-masing, bergerak meninggalkan tempat itu. Ali Topan mengambil motornya dan mendorongnya menuruni jalan. Ia menyemplak sadel motor, menghidupkan mesinnya, lalu menggeblaskan motornya ke depan, menyusul para sahabatnya.

Mereka berlalu dari tempat itu. "Ke mane kite?" Gevaert bertanya.
"Ke mane pale lu! Berhubung lu yang ngrusak acara, lu kudu menghibur kite dengan bakmi baso!" kata Ali Topan. "Buset, setuju banget gua!" kata Bobby.
"Bujug, gua nggak punya duit, Pan" Gevaert mengeluh. la menengok ke Ali Topan, lalu ke arah Dudung. "Biar kali ini ogut yang traktir deh, Boss. Kesian Gevaert lagi miskin hari ini," kata Dudung.
"Pokoknye ini hari gua musti makan bakmi baso aja dah. Sebab, kalau tidak makan bakmi baso, perut gua bisa sakit maag" kata Ali Topan. Ia tersenyum.

"Let's go!" Gevaert berteriak. la ngebut ke depan. Acara pun beralih ke jalanan. Mereka saling susul menyusul, mempertontonkan kebolehan masing-masing di atas motor. Jalanan Pasar Minggu yang baru dibetulkan oleh Bang Ali memang licin macam paha perawan kampung, asik buat ngebut. Udara segar, lalu lintas tidak begitu padat. Ali Topan dan para sahabatnya benar-benar lupa sekolah lupa rumah. Mereka, terutama Ali Topan, merasa suntuk di sekolah dan di rumah. Maka, ia mengajak teman-temannya mencari kegembiraan di luar rumah dan di luar sekolah.

Apakah mereka lalu dicap sebagai anak-anak berandalan yang merusak masa depan masing-masing, tak ada dalam pikiran mereka.
"Kira-kira Good Goly Miss Mary itu ngaduin kita ke Pak Brotpang apa kagak, Bob?" teriak Ali Topan. Brotpang itu panggilan pop murid-murid untuk Pak Broto Panggabean.
"Acuh aja acuuuh. Kalau dia ngaduin, kita beber aja rahasia pribadinya di Ibu Kota! Dia kan beken sebagai lesbian, iya kan Vaert?" kata Bobby. "Tak acuh," kata Ali Topan.
"Iya. Mpok gua tahu itu. Temen dia pernah diajak ke hotel sama Si Mary itu," kata Gevaert.
"Ah, gosip aja kali," kata Ali Topan.
"Uuuh, ya udah kalau kagak yakin. Mpok gua sih bukan penggemar gosip, boss," kata Gevaert.
Ali Topan tidak menjawab. Dia sibuk menghindari sebuah batu yang ada di tengah jalan.
"Sialan itu batu, menghambat pembangunan aje," gerutu Ali Topan.
"Pembangunan ape, Pan?" tanya Bobby yang merendengi motor Ali Topan.
"Pembangunan Orde Baru. "
"Gile lu, kayak Pak Harto aje," kata Bobby.
"Aaah, kan die masih sodara sama babe gue. Lu nggak yakin? Tanya aje sama die," kata Ali Topan. "Nanyanye pegimane?" tanya Bobby.
"Lu tanya aje. Eh, Pak Harto, kata Ali Topan, ente besodara sama babenye? Brani apa kagak lu?" jelas Ali Topan.
"Buset,bisa dating kagak bisa pulang gua,"kataBobby. "Emang kenape?" tanya Ali Topan lagi.
"Sik. Pengawal Pak Harto kan galak banget?"
"Lu kira Pak Harto yang mane?" tanya Ali Topan. "Pak Harto presiden!" jawab Bobby,
"Yee, bukan. Pak Harto oom gue yang rumahnya di Pancoran!"
Bobby melengak. Lantas dia tertawa terbahak-bahak.

"Sial lu!" katanya.(Bersambung)

Sumber: kompas.com

Minggu, 07 September 2008

Ali Topan Anak Jalanan (8)


DUA
Pagi itu sekitar jam sepuluh.

Di rerumputan antara gerumbulan semak, di Kebun Binatang Ragunan, Pasar Minggu, ada dua orang lelaki dan perempuan sedang berciuman. Rupanya mereka merupakan sepasang kekasih yang asyik berpacaran.

Sebentar-sebentar terdengar bunyi cap-cup, cap-cup, ditingkah suara si perempuan terkikik-kikik geli, ditambah suara nafas ngos-ngosan dari si lelaki yang juga sibuk melontarkan selangit rayuan di pagi itu.

“Mari kucium lagi, sayaaang," rayu si lelaki dengan gaya bintang film mesum dalam film nasional. Si lelaki memonyongkan mulutnya, mencoba mencium perempuannya. Si perempuan berusaha mengelak, tapi rupanya usaha itu sekadar pura-pura saja, sebab ketika monyongan mulut si lelaki mengubernya, ia pasrah saja. Cup cup. Mhh.

"Ah, abang nakal," bisik si perempuan. Manja.

"Nakal gimana? Ini kan enak? Mari kubikin lebih mesra lagi, dengan teknik tinggi, sayaang," rayu si lelaki, berteknik-teknik rupanya.

Dipeluknya si perempuan dengan pelukan bergaya kelasi mabuk. Si perempuan manja saja, bahkan iapun ikut aktif menyambut pelukan kekasihnya dengan pagutan ala Cobra di leher si lelaki. Zzzp. Keduanya tenggelam di laut kemesraan. Main piting-pitingan di rerumputan.
Mereka tak sadar bahwa ada seseorang mengintai "kerja" mereka itu.

Gevaert membidik pasangan yang sedang "sibuk" itu dengan Canonnya. Dia atur fokus lensa, dan bergerak hati-hati mencari posisi yang paling sip dan aman. Gevaert merunduk di antara semak-semak.

Klik! Gevaert.memotret mereka.

Si perempuan tiba-tiba melepaskan diri dari pelukan lelakinya. Tapi si lelaki dengan ketat memitingnya, hingga cuma kepalanya saja yang menengok-nengok ke sekitarnya.

"Bunyi apa sih yang klik barusan?" bisik si perempuan. "Ah, ah, bunyi apa? Tak ada bunyi apa-apa," sahut lelakinya.
"Sungguh, Bang. Kudengar bunyi klik. Ah, perasaanku jadi tak enak."
“Ah, ah, bunyi anak macan barangkali. Dienakin terus deh:'

Si lelaki kembali memiting leher perempuannya. Lalu dihujaninya leher, wajah dan bibir pacarnya dengan ciuman bertubi-tubi.

Gevaert menahan nafas. Otaknya sempat dibikin pening oleh pemandangan yang menggairahkan itu. Mati-matian dia menahan nafas supaya tidak ngos-ngosan.
Tiba-tiba pantatnya digigit semut. Secara refleks tangannya menepuk pantatnya. Plak!

Suara tepukan itu cukup keras, membuat obyeknya terkejut. Si lelaki melepaskan pelukannya dan melihat ke arah semak-semak arah bunyi plak tadi. Dilihatnya Gevaert mencangklong tustel. Tiba-tiba saja si lelaki berdiri, wajahnya beringas.

Gevaert mundur secepat kilat, wajahnya menyeringai masam."He, siapa kau, babi!" hardik lelaki itu. Ia bergegas mengejar Gevaert. Gevaert tahu bahaya maut mengancam, ia langsung melarikan diri sekencang-kencangnya.

Si lelaki tidak mengejar anak nakal itu. Dia cuma mengepal-ngepalkan tinjunya ke udara dan mulutnya melontarkan caci-maki yang bukan main sadisnya. Sementara itu, Dudung, Bobby dan Ali Topan sedang santai menikmati pagi di bawah pohon yang besar. Dudung menelungkup di rerumputan, mandi sinar matahari pagi. Bobby duduk tenang, membaca komik Jan Mintaraga di dekatnya. Ali Topan berdiri di samping Dudung, kakinya menginjak pantat Dudung.

Digerak-gerakkannya pantat Dudung dengan kakinya. Dudung tetap menelungkup. Pantatnya saja digerakkannya naik-turun mengikuti perakan kaki Ali Topan.
"Hidup begini enak ya. Lepas, bebas, segar terasa dalam hati," kata Ali Topan. Bobby menengok ke arahnya.
"Sik! Berpantun pula kau," kata Bobby.
"Enak sih enak, tapi sepatu lu itu bikin kotor celana gua, Pan. Lu pikir gua nyucinya di Naga Payung? Gua cuci sendiri tuh," Dudung menggerundel.
`Babe lu aja suruh nyuci," kata Ali Topan.
"Doo, doo, babe gua suruh nyuci? Kalau dia tahu anaknya ke Jakarta pake acara bolos begini udah untung kalau gua kagak diamukin. Kalau babe gua ngamuk lu tau? Sekali tiup gua bisa jadi layangan!" kata Dudung. (bersambung)

Sumber: kompas.com

Ali Topan Anak Jalanan (7)


Di kelas III Paspal 1.

Murid-murid dan Ibu Mary masuk ke dalam kelas. Wanita itu bertubuh pendek, sexy, berkacamata, usianya 30 tahun. Anak-anak duduk di tempat masing-masing. Ibu Mary duduk di kursi guru. Ibu Mary mengeluarkan catatan absen harian, murid-murid mengeluarkan buku Inggris mereka. Ibu Mary batuk-batuk sebentar, lalu memanggil nama murid-murid sebagaimana biasanya, didahului ucapan, "Good morning, every body" yang dijawab "Good morning, Miss," oleh anak-anak.
"Abadi Karamoy!" seru Ibu Mary.
"Yes, Miss!"
"Abubakar Siddiq!"
"Yes, Miss"
"Ali Topan!" Tak ada jawaban.
"Ali Topan!" Ibu Mary tak ada jawaban.

Ibu Mary menengadahkan wajahnya, melihat ke arah tempat duduk Ali Topan. Tempat duduk itu kosong.
"Ke mana berandal itu, Maya?" tanya ibu Mary.
Maya yang berwajah oval keibuan memang dikenal dekat denganAli Topan. Murid yang duduk bersebelahan dengan bangku kosong itu menggelengkan kepalanya. "I don't know, Miss," katanya.
"Why you don't know?"
"I don't know," jawab Maya. Dia grogi, takut diajak omong cara Inggris terus oleh ibu Mary.
Beberapa anak tersenyum. Ibu Mary meneruskan panggilannya.

Pada saat itu, pintu diketuk dari luar.
Pak Broto Panggabean masuk diikuti Anna Karenina. "Selamat pagi Ibu Mary. Selamat pagi anak-anak. Ini ada satu murid baru, pindahan dari sekolah lain. Saya kenalkan, namanya Anna Karenina. Ketua kelas, tolong atur tempat duduk untuknya," kata Pak Broto Panggabean.
"Siap, Pak," kata Ridwan, ketua kelas III Paspal I yang duduk di bangku belakang.
"Nah, cukup itu, Bu Mary. Selamat belajar anak-anak!" kata Pak Broto Panggabean, kemudian ia pergi meninggalkan kelas.

Ibu Mary dan murid-murid mengawasi Anna Karenina yang masih berdiri di depan kelas. Anna tersipu-sipu. Wajahnya bersemu dadu.
"What is your name, my dear?" tanya Ibu Mary.
"Anna Karenina," sahut Anna.
"Beautiful," gumam ibu Mary. Matanya mengawasi Anna tanpa kedip. Dari ujung sepatu sampai rambutnya yang mengurai bak bunga mayang.

Terdengar bisik-bisik dari para murid.
Anna Karenina merasa sedikit aneh ketika menatap mata ibu Mary. Mata guru Bahasa Inggris itu tadinya bersinar biasa, seperti mata ibu guru lazimnya. Kemudian sinar mata itu berubah, seperti sedang "menaksir" kekasihnya. Apalagi ketika Ibu Mary melemparkan senyum yang bermakna "naksir," wah, Anna Karenina merinding.
"Okay, okay, sit down, please...," kata Ibu Mary.
Ridwan, ketua kelas yang bertubuh tegap kayak tentara maju ke depan, menunjukkan tempat duduk yang kosong buat teman barunya.
"Untuk sementara kamu duduk di sini dulu, besok bisa saya atur yang lebih baik. Ya!" kata Ridwan. Anna mengucapkan terima kasih.
"Eh, salaman dulu, dong," seorang murid lelaki yang bertampang badung, "nama saya Sobirin," tambahnya.
Anak-anak langsung "gerr" mendengar ucapan Sobirin. Anna tersenyum. Tersipu-sipu.
Anna Karenina masih tersenyum ke kiri kanan. Ibu Mary yang mengawasi dari depan berkata: "Sudah, sudah. Senyumnya disimpan dulu. Kita lanjutkan pelajaran, please."
Suasana tenang kembali.
Ibu Mary melanjutkan mengabsen para murid. Ia mencatat dua nama yang tidak masuk kelas pads jam pelajarannya. Ali Topan dan Bobby.
Kemudian pelajaran Bahasa Inggris dimulai. (BERSAMBUNG)

Sumber: kompas.com

Ali Topan Anak Jalanan (6)


SMA Bulungan tampak ramai seperti biasanya. Rombongan murid dan guru memasuki halaman sekolah dengan langkah yang juga seperti biasanya, tergesa-gesa.

Ali Topan Cs suka berkata bahwa gaya murid-murid dan guru-guru sekolahnya seperti gaya orang bisnis. Sok nguber waktu, biar dibilang rajin, katanya, setiap kali melihat ada teman berjalan tergesa-gesa ke sekolah.

Sebuah Mercedes berhenti di depan gedung SMA Bulungan. Dari dalam mobil keluar Ny Surya dan Anna. Mereka merapikan pakaian sekilas, lalu melangkah masuk ke dalam sekolah. Beberapa murid melihat ke arah ibu dan anak itu.
"Mm, mm, saya boleh tanya kantor Direktur Sekolah di sebelah mana ya?" tanyanya.
"Di sebelah kulon," jawab anak itu. "Kulon? Di mana kulon itu?"
"Tu di sono tante. Anaknya mau dimasukin ke sini ya?" kata anak itu. Nyonya Surya mendelik. "Dimasukin?Apanya yang dimasukin?" kata Nyonya Surya. Tanpa mengucapkan terima kasih, ia pergi meninggalkan dua anak itu. "Terima kasih ya," Anna berkata.
"Gitu dong, sayaaang," kata murid itu. Anna tersenyum manis, kemudian mengikuti ibunya yang berjalan menuju ke kantor Direktur Sekolah.

Pak Broto Panggabean, Direktur SMA Negeri Bulungan sedang duduk di kursinya, menyusun map dan buku-buku di meja kerjanya. la orang Batak kelahiran Medan 45 tahun yang lalu. Tubuhnya pendek, kekar. Wajahnya bujur sangkar dengan bibir tebal. Sikapnya tegas, tapi suka humor. Dan hatinya hati seorang pendidik. Nama Broto yang khas Jawa itu diberikan oleh seorang Jawa yang menolong kelahirannya.

Hadi, pembantu umumnya masuk. "Ada tamu, Pak," kata Hadi. Suaranya cempreng sesuai dengan tubuhnya yang kecil kerempeng.
"Tamu siapa, hah? Pagi-pagi begini sudah bertamu-tamuan," kata Pak Broto Panggabean.
"Nyonya Surya dan anaknya, Pak."
"Ooo, suruh mereka masuk."
Nyonya Surya dan Anna dipersilakan masuk oleh Hadi.
"Selamat pagi, Pak Direktur," sapa Ny Surya.
"Oh, selamat pagi. Silakan, silakan duduk. Apa anak yang manis ini anak ibu yang mau pindah sekolah ke sini. Iya?" kata Broto Panggabean.
"Begitulah kira-kira, Pak Broto. Jadi saya serahkan secara resmi anak saya ini pada Pak Broto, untuk dididik sebagaimana mestinya. Maklum, di sekolahnya yang dulu saya sangat khawatir, di sana banyak anak-anak morfinis," kata Nyonya Surya.
"Wah, memang bahaya morfin itu," kata Pak Broto Panggabean dengan aksen Medan yang khas.
"Siapa nama kau," tanyanya ke arah Anna.
"Anna Karenina namanya," Nyonya Surya yang menjawab.
"Anna Karenina. Anna Karenina. Yah, yah, kau saya terima bersekolah di sini, mengingat Bapak kenal baik sama orangtuamu. Tapi di sini peraturan ketat dan tidak pandang bulu. Mengerti?" kata Pak Broto.
Anna Karenina mengangguk.
"Nah, cukup, Ibu Surya. Soal keuangan bisa diurus di bagian administrasi," kata Pak Broto Panggabean. Ia menunjuk bagian itu yang terletak di samping kantornya.
"Baik, terima kasih," kata Nyonya Surya, "Anna baik-baik ya, jangan bikin malu mama dan papa," tambahnya.
"Ya, Mama..." kata Anna.

Nyonya Surya meninggalkan ruang itu setelah mencium pipi anaknya dengan ciuman bergaya orang Belanda. "Wah, disayang sekali rupanya, ya?" kata Pak Broto.
Anna tersipu-sipu.
"Tunggu sebentar, nanti Bapak antar kau ke kelasmu."
Anna Karenina mengangguk, bersamaan dengan dentang bel tanda masuk klas dipukul orang. (BERSAMBUNG)

Sumber: kompas.com

Ali Topan Anak Jalanan (5)


Dan ia bertambah malu ketika mendengar anak-anak berandal itu bersuit menggoda. Fuuit! Fuuuuit! Fuuuit! Anna bergegas menyusul ibunya yang sudah masuk toko buku. Dan ia tak mendengar suitan menggoda ataupun percakapan di antara "perusuh-perusuh" itu.Anna tak melihat. bahu Topan ditepuk Bobby.

"He, Pan! Jangan bengong. Bagi apinya!" kata Bobby. Ali Topan tersadar dari suasana yang terasa agak aneh baginya. "Ah, iya! Kok gua jadi bengong begini? Gara-gara itu cewek. Manis banget sih! Sayang Nyaknya galak kayak herder," kata Ali Topan. la memberikan api pada Bobby.
"Manis sih manis, tapi lu liat dong bodigarnya di mobil itu! Sangar banget tampangnye," Gevaert berkata.

Eh, baru selesai Gevaert bicara, kuping para sobat itu mendengar bunyi klakson Mercedes.
"Tu, ape gue gilang? Dienye keki ngeliat majikannye kite godain. Kalau die anak ABRI kan kite bise repot?" kata Gevaert lagi.
"Lu liat tuh. Dienye keluar dari mobil. Eh, pake tolak pinggang lagi. Kayak Bonanza," kata Bobby.
Ali Topan melihat ke arah Oom Boy yang sedang memandang mereka dengan geram. Ali Topan cuma senyum saja, bahkan dia melambaikan tangan.
"Daag, Oom," teriak Ali Topan.

Oom Boy mengacungkan tinjunya.Ali Topan Cs tertawa keras sekali sambil memegangi perutnya, seolah-olah sedang menyaksikan pertunjukan yang lucu.
Oom Boy makin geram diperlakukan seperti itu. Dia mengacung-ngacungkan tinjunya.
"He, sopir! Kayak yang punya mobil aje gaya lu! Ke sini kalau berani, gua beri kepelan lu !" Gevaert berteriak. Dan langsung mendemonstrasikan kembangan silat Cimande.

Oom Boy makin gemas melihat tingkah anak-anak itu. Tapi dia tak beranjak dari tempatnya berdiri. Dia cuma mengepal-ngepalkan tinjunya saja. Perbuatannya itu semakin membuat geli Ali Topan dan kawan-kawannya. "Gaya sepuluh, nyali nol!" teriak Bobby.
"U, Bob! Ibu Mary liwat tuh! Dienya nengok ke kite!" tata Gevaert.
Mane? Mane?" tanya Bobby.
"Noh, die. Busyet, kepergok deh kite," kata Dudung.

Siapa sih Ibu Mary itu?

Dia seorang perempuan. Rada cakep. Dan pinter berbahasa Inggris, karena memang guru bahasa Inggris di SMA Bulungan. Saat itu sebenarnya Ibu guru Mary tidak melihat ke arah Ali Topan Cs. Dia tipe guru yang sedikit sok. Mungkin karena pandai berbahasa Inggris, dia sok. Apalagi dia paling suka membangga-banggakan diri, sudah pernah studi di Australia. Beberapa murid yang sebal memberi julukan "ibu guru peranakan Kanguru" kepadanya.

"Cabut, njing!" kata Ali Topan. la mendahului teman-temannya berlari menuju pasar tingkat atas. Bobby, Dudung dan Gevaert mengikuti "boss" mereka. Motor masing-masing ditinggalkan di tempat.Ali Topan Cs menghilang di ujung tangga.

Ibu Mary lewat. la sebetulnya tak melihat anak-anak itu. Tapi Ali Topan, Bobby, Dudung dan Gevaert merasa khawatir, sebab Pak Broto Panggabean, Kepala Sekolah SMA Bulungan telah mengeluarkan peraturan yang keras. Murid-murid SMA Bulungan dilarang keras menjadi krosboi. Barang siapa ketahuan menjadi krosboi atau cenderung atau bisa dianggap bersikap laku seperti krosboi, dijatuhi sanksi yang berat.

Para guru diperintahkan mengawasi murid-murid. Di dalam maupun di luar sekolah. Kalau ada murid yang nampak begajul sedikit saja, mereka diinstruksikan mencatat dan melaporkan langsung ke Kepala Sekolah sebagai penanggung jawab apa yang dinamakan "komando operasi pengendalian dan penertiban murid-murid sekolah".

Dan banyak sekali guru yang menyambut gagasan itu. Karena ada semacam peraturan tak tertulis bahwa semakin banyak guru melaporkan murid-murid yang dianggap krosboi, semakin banyak dia mendapatkan pujian dari Pak Broto Panggabean. Pujian itu sudah cukup memuaskan rupa-rupanya.

Tapi Ali Topan Cs lupa barangkali bahwa ibu Mary, walaupun sedikit sok, tidak berminat pada acara lapor melapor itu. Maka itu Ali Topan Cs tetap berlari, terbirit-birit, menuruni tangga arah bagian dalam Pasar Melawai dan masuk ke luar lorong-lorong di dalam pasar. Tas sekolah bergondal-gandul di bahu masing-masing.
Mereka muncul di emper bioskop Kebayoran. Mereka berhenti di situ.

Gevaert memeriksa tasnya. Diambilnya sebuah tustel Canon dari tasnya dan diperiksanya sebentar. Dia selalu membawa tustel itu ke manapun ia pergi.
"Hai ngapain di sini? Nggak sekolah kalian? Mbolos melulu... " seorang anak perempuan menegur, Gevaerrt membidikkan alat fotonya ke arah gadis itu.
"Gua potret lu, gua masukin Ibu Kota!" kata Gevaert. Gadis teman sekolah itu menutupi wajahnya dengan tas sekolahnya dan lari cepat-cepat."Tak usyah ya,emangnya gw artis?" kata gadis itu.
“Ada artis tampangnya kayak lu sih, bioskop-bioskop sepiiii!" Ali Topan berteriak, "Yuk ah, macks, kita cabut. Di sini banyak intelnya. Ntar rusak acara kita. Kita ke Ragunan aje, nengokin kawan-kawan lama," tambah Topan.
"Oke, Bos," kata Dudung. Ia berlari membuntuti Ali Topan, menuju tempat parkiran motor mereka tadi.

Tak lama kemudian, empat sekawan itu mengeluarkan motor mereka ke arah selatan. Mereka menuju ke Kebun Binatang Ragunan.(BERSAMBUNG)

Sumber: kompas.com

Ali Topan Anak Jalanan (4)


Ali Topan berjalan ke tempatnya semula. Rokok terselip di bibirnya. Begitu dia hendak duduk kembali, dan Gevaert menyambar rokok yang terselip di bibir itu dengan maksud minta apinya, mata Ali Topan yang bersinar tajam menangkap gerakan melenggang Anna dan ibunya yang berjalan melewati tangga. Langsung Ali Topan menggamit sobat-sobatnya.

"Pssst. Ada manusia cantik liwat, macks!" kata Ali Topan.
Bobby, Dudung dan Gevaert yang sejak tadi sudah melihat ibu dan anak itu-tapi masih tetap diam, menunggu komando boss mendadak jadi beringas dalam pengertian saling lomba bergaya genit untuk menarik perhatian Anna.

"He, macan, manusia cantik! Mau ke mane kite? Pagi-pagi begini udeh bikin hatiku bergetar?" kata Gevaert. "Mau belanja duren sama mamih ya? Boleh dong menengok kemariin sejenak? Aku ingin memandang wajah lu yang cantik. Oooh," Bobby menyusul dengan kata-kata godaannya.

"Bujug buset. Dianya budek, boys! Sayang, cakep-cakep budek begitu, bisa rusak pasaran "Dudung ikut nimbrung. Anna dan Ny Surya mendengar kata-kata mereka, tapi tidak menggubris. Mereka berjalan terus menuju toko buku. Nah, pada saat itulah Bobby melempar Anna dengan kulit rambutan. Tidak kena! Gevaert latah, melempar juga. Tidak kena! Ali Topan dan Dudung bersamaan melempar. Lemparan Dudung mengenai Nyonya Surya! Lemparan Ali Topan mengenai kepala Anna!

"Aduh!" Anna memekik. Nyonya Surya juga berbalik dan tangannya bertolak pinggang.
"Anak-anak kurang ajar kalian!" Nyonya Surya membentak.
Bobby, Dudung dan Gevaert langsung melengos. Ali Topan tidak melengos. Dengan pandangan matanya yang khas ditatapnya Anna dan Nyonya Surya.Anna cemberut, Nyonya Surya melotot.

Ali Topan tetap memandang mereka dari ujung kaki sampai kepala, seolah-olah menaksir, sampai berapa besar kemarahan ibu dan anak itu. Dan aneh, sungguh aneh, jantung Anna seakan-akan berhenti berdenyut ketika matanya beradu pandang dengan mata Ali Topan. Lantas cemberut di wajahnya hilang tiba-tiba. Dan iapun jadi sedikit grogi terkena pandangan mata Ali Topan yang berubah. Pada detik-detik pertama, mata itu bersinar tajam dan beringas, pada detik-detik berikutnya sinar mata Ali Topan menjadi sayu dan sangat lembut!

Nyonya Surya merasakan keanehan itu. Dengan wajah semakin marah, diraihnya tangan Anna dan diajaknya berjalan lagi.
"Kamu kenal dia, Anna?" tanya Nyonya Surya dengan dingin.
"Belum, Ma...," jawabAnna pelahan.
Nyonya Surya melirik sekejap mendengar jawaban yang dirasakannya tidak wajar itu. Belum, Ma, belum... apa pingin kenalan? Demikian kata hati Nyonya Surya.

Maka dia pun mempercepat langkahnya untuk mengusir perasaan yang menyelip di hatinya. Perasaan itu semacam perasaan aneh. Dia melihat sesuatu kelembutan yang tajam di mata anak muda penggoda tadi. Sinar mata yang sangat magnetis. Dan ia, sebagai seorang wanita, merasa bahwa anaknya sedikit tergetar oleh pandangan magnetis itu. la tidak mau Anna bertatapan mata lebih lama lagi dengan anak kurang ajar itu. Instinknya menyatakan begitu.

Nyonya Surya berjalan cepat, ke arah pintu masuk toko buku yang sedang dibuka oleh pegawai toko buku itu. Anna melepaskan tangannya dari cekalan ibunya. Dan, tanpa disadari, Anna menengok sebentar ke arah belakang, memandang Ali Topan. Ia terkejut ketika pandang matanya langsung disambar oleh sinar mata Ali Topan yang rupa-rupanya mengawasi terus sejak tadi.
Anna cepat melengos lagi. Ia malu! (Bersambung)

Sabtu, 06 September 2008

Ali Topan Anak Jalanan (3)


Tiga kawannya cukup keren, tapi tak berkarakter dan tak berkharisma seperti Ali Topan. Dudung yang berdiri satu level di bawah Ali Topan adalah anak kelahiran Kuningan, JawaBarat, berwajah tirus dengan kulit berwarna langsat dan sepasang mata agak sipit. Kepalanya agak besar dan rambutnya ikal keriting.

Bobby dan Gevaert berdiri berdampingan satu level di bawah Dudung. Bobby berwajah agak bundar, rambutnya lurus, namun tak begitu lebat. Pupil matanya kecil, suka melirik ke kiri dan ke kanan. Sedang Gevaert berdarah campuran, ayah Padang dan ibu Jerman. Maka sosoknya sosok indo: badan besar, rambut ikal kemerahan, tapi matanya hitam dan kulitnya putih kecoklatan. Hobinya fotografi.

"Berdiri terus bisa jadi tontonan gratis kita," kata Ali Topan. la duduk di anak tangga diikuti oleh Dudung dan Gevaert. Bobby tetap berdiri. la memang selalu ingin berusaha menonjol dari Ali Topan, Dudung dan Gevaert karena merasa dirinya anak paling kaya di antara mereka. Tetapi selalu gagal, karena urusan kepemimpinan menyangkut kharisma, kewibawaan, dan keunggulan pribadi lainnya. Bukan kekayaan harta benda.

Bobby pun merasai pengaruh wibawa itu, tiap kali ia coba tentang dan tiap kali pula gagal. Akhirnya ia ikutan duduk di anak tangga seperti teman-temannya.
"Eh, itu Mercy yang tadi apa bukan, Pan?" tanya Dudung. Tangannya menunjuk ke arah Mercy yang baru masuk ke pelataran parkir pusat pertokoan Melawai.

Ali Topan memandang ke Mercy itu. "Kalau sopirnya cari gara-gara biar gua embat aja. Emang udah seminggu tangan gua nggak ngeplak kepala orang," katanya.

la duduk. Tangannya sibuk membuang kulit rambutan yang mengotori tangga itu.

Mercedes diparkir di ujung kanan pusat pertokoan. Anna dan ibunya turun dari mobil itu, dan mereka langsung berjalan ke arah toko buku yang terletak di bagian bawah pertokoan, dekat tangga. Anna berjalan berdampingan dengan ibunya. Keduanya tak memperhatikan situasi sekitar.

Ali Topan Cs duduk seenaknya, pura-pura tak memperhatikan Anna dan ibunya. Ali Topan mengambil sebatang rokok kretek yang diselipkan di kaus kakinya. Bobby, Dudung dan Gevaert juga melakukan hal serupa, mengambil rokok dari kaus kaki masing-masing. Ali Topan mencari-cari korek api di saku baju dan celana jeans-nya. Tapi korek api tidak ada.
"Ada korek, njing?" ia bertanya pada Bobby
"Nggak, nggak ada, njing," kata Bobby. Lalu Bobby menoleh pada Dudung dan Gevaert.
"Bujug buset, Ai juga nggak ada korek nih. You bawa korek api, Vaert?" tanya Dudung pada Gevaert. Gevaert menggelengkan kepalanya dengan gaya keren.
"Wah, kalau ada Magician lewat asik deh. Bisa minta api," kataAli Topan. Dan kebetulan sekali, seorang gelandangan pemungut puntung rokok lewat di dekat mereka sambil memunguti puntung rokok. la menjumput sepuntung rokok yang masih panjang. Diselipkannya puntung itu di bibirnya, lalu ia nyalakan puntung itu dengan korek api yang diambilnya dari kantung di balik baju lusuhnya.
Ali Topan bergerak ke arah pemungut puntung. Ditepuknya bahu orang itu. "He, Bung Magician, bagi apinya dong... ," kata Ali Topan. Pemungut puntung itu menyodorkan rokoknya yang telah menyala. Ali Topan menghidupkan rokoknya.
"Thank you, Magician," kata Ali Topan.
"Ooh, you're welcome," jawab pemungut puntung rokok.
Ali Topan terkejut. la menatap "magician" yang kini tersenyum manis. la bahkan memberikan tabik dengan tangannya kepada Ali Topan. la tersenyum dan berlalu. (Bersambung)

Sumber: kompas.com

Ali Topan Anak Jalanan (2)


Orang muda di belakang setir Mercedes itu mengacungkan tinju ke arah punggung Ali Topan Cs. Muka sopir itu lancip kayak muka tikus. Ali Topan dan Gevaert kebetulan melihatnya dari kaca spion.

Tanpa kode etik lagi, kedua remaja itu merem motor mereka, dan mengepoti Mercedes itu.Tak sampai kesenggol moncong Mercedes, Ali Topan dan Gevaert menancap gas, langsung menggeblas ke depan sambil tertawa keras sekali.

"Kurang ajaaar!" sopir Mercedes itu memaki. Wajahnva merah padam. Wanita menor berusia 45 tahun yang duduk di belakang menekan dadanya. Kaget. Seorang gadis remaja berwajah lonjong yang duduk di samping sopir Mercy itu menggigit bibir sedikit.

Rambut panjangnya yang hitam lebat diberi pita merah muda, menjadikannya terlihat manis. Ia merasa geli mendengar makian "anjiiing" dan "kurang ajar" yang terlontar dari mulut tukang setir Mercy-nya.

"Sudah. Jangan digubris, Boy," si nyonya yang duduk di belakang berseru. Suaranya rada serak, seperti suara orang sakit TBC. la mengusap tas kulit hitam berukiran nama: Ny. Surya. Wajahnya yang tirus dipoles bedak dan gincu kemerahan tampak masam.
Sopir mobil yang dipanggil Boy patuh. Matanya melirik ke arah gadis di sebelahnya. "Anak-anak sekarang ini berandalan semua," gerutunya.

Nyonya Surya yang duduk di belakang bersuara lagi, "Jammu menunjukkan jam berapa,Anna?"

Gadis remaja yang manis itu melihat jam tangannya, lalu menjawab tanpa menoleh ke belakang, "Jam tujuh kurang sedikit, Mama.... "
"Kurang sedikit itu berapa?" tanya Nyonya Surya.

Sepasang mata Anna, putri nyonya Surya, melihat sekilas arloji emas di pergelangan tangan kirinya. "Jam tujuh kurang tiga menit dan beberapa detik, mama," katanya. "Toko buku di Blok M buka jam berapa?" tanya si nyonya lagi.
"Biasanya sih jam tujuh persis, Mama," jawabAnna.
"Kalau tak biasa jam berapa?" Boy bertanya, iseng.

Anna tak menjawab. Wajahnya cemberut. Sepasang matanya yang lebar dan cemerlang seperti pagi menatap lurus ke jalanan di depan. Samar-samar di kejauhan dilihatnya anak-anak bermotor tadi membelok ke arah Pasar Melawai, Blok M. Anna mengusap alisnya yang lebat dan indah. Ali Topan, Bobby, Dudung dan Gevaert masuk ke halaman Pasar Melawai yang menjadi pusat Blok M.

Mereka berhenti dan mematikan mesin motor tepat di dekat tangga utama pusat pertokoan itu. Lalu naik satu per satu, menghitung anak-anak tangga. Mereka berdiri seenaknva di tangga itu, memandang terminal biskota Blok M di seberang jalan.

Para pekerja kantoran yang lewat di halaman beraspal di dekat tangga menengok ke arah empat remaja berseragam putih-putih itu dengan pandangan sebal. Apalagi ketika Ali Topan, sosok yang paling jantan dan tampan yang rambut gondrongnya melambai-lambai tertiup angin itu, menyeringai ke arah mereka.

Ali Topan memang keren. Tingginya 172 cm, dan agak kurus. Kulitnya sawo matang tua. Wajahnya lonjong dengan rahang kokoh dan tulang pipi yang tak terlampau menonjol. Hidungnya agak besar dan mancung. Dan, matanya, oh matanya! Sepasang mata itu lebar, besar, karakteristik, dengan bagian hitamnya yang mengesankan kebaikan hati, kecerdasan,kejujuran dan keberanian.Alis mata tebal seperti golok melengkung menjadikan profil wajah itu wajah dengan sentuhan Jawa yang sangat artistik.(Bersambung)

Sumber: kompas.com

Ali Topan Anak Jalanan (1)




Pagi hari, Senin pertama bulan Juli 1977.

Langit biru muda memayungi Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Matahari mencorong di Timur. Ali Topan, Bobby, Dudung dan Gevaert menaiki motor masing-masing, ngebut di jalanan seputar Blok M.

Blok M adalah suatu blok perumahan dan pertokoan seluas kurang-lebih tiga kilometer persegi. Sebelah utaranya dibatasi lapangan Markas BesarAngkatan Kepolisian atau Mabak, sebelah timur dibatasi Jalan Iskandarsyah Raya, sebelah selatan dibatasi Jalan Melawai Raya, dan sebelah baratnya dibatasi Jalan Si Singamangaraja. Kebayoran Baru terdiri dari beberapa blok, dari A sampai S.

Penduduknya umumnya pekerja dan pedagang kelas menengah dari luar Jakarta, yang berjumlah sekitar 400.000 orang.
Empat sekawan itu adalah murid-murid kelas III Pal - Pengatahuan Alam - satu SMA Bulungan I "Bulungan" yang terletak di ujung timur Jalan Mahakam, Blok C Kebayoran Baru, yang berbatasan dengan Jalan Si Singamangaraja.

Mereka tertawa gembira, berdansa di jalanan, itu istilah untuk sport jantung menyelip-nyelipkan motor di sela-sela kendaraan yang melalu-lintas. Wajah-wajah tampan yang cerah, rambut-rambut yang gondrong melambai kena angin, dan bercanda sepanjang jalan merupakan manifestasi sikap bebas aktif anak-anak muda itu. Oleh kaum tua yang sedikit pikun, mereka dinamakan berandalan atau krosboi, tapi mereka tak peduli.

Mereka ada di jalan Panglima Polim Raya. Lampu perempatan Jalan Pangporay -Panglima Polim Raya dan Jalan Melawai Raya menyala kuning. Kemudian merah. Kendaraan umum berhenti. Tapi Ali Topan dan kawan-kawannya langsung saja tancap gas membelok ke arah kiri, memotong kendaraan yang bergerak dari arah Blok M, langsung melaju ke Jalan Bulungan.
"He, bajingan!" seorang pengendara Toyota Corolla tahun 1973 warna kuning memaki Ali Topan yang hampir ditubruknya. Tapi Ali Topan tak menggubris cacian itu. Demikian pula kawan-kawannya.

Mereka terlalu sering mendengar caci maki orang, jadi sudah kebal. Ali Topan Cs tetap ngebut, membelok ke kanan di perempatan Jalan Bulungan-Jalan Mahakam, dan terus menggeblas lewat SMA Bulungan I yang tegak di ujung Jalan Mahakam. Beberapa teman yang ada di depan sekolah melambaikan tangan. Ali Topan Cs tak sempat membalas mereka.

Nama SMA Bulungan I yang terletak di Jalan Mahakam itu berasal dari riwayat dua SMA di Jalan Bulungan yaitu SMA Bulungan Pagi dan SMA Bulungan Sore yang dipisah menjadi dua karena di lokasi itu dibangun Gelanggang Remaja Jakarta Selatan oleh Pemerintah Daerah Khusus Istimewa Jakarta, atas inisiatif Gubernur Ali Sadikin yang beken dipanggil Bang Ali. SMA Bulungan Pagi menjadi SMA Bulungan I di jalan Mahakam, sedangkan SMA Bulungan Sore menjadi SMA Bulungan II di Jalan Bulungan.Gelanggang Bulungan nama pop GRJS diapit oleh dua SMA bersaudara itu.

Pada hari peresmiannya, seorang murid lelaki yang patah hati dengan guru perempuan menggambari dinding sekolah itu dengan lambang hati dan anak panah yang patah dan angka Bulungan pakai cat merah darah. Sejak saat itu nama sekolah itu beken dengan sebutan SMA "Patah Ati" atau SMA Bulungan di kalangan remaja Kebayoran. Pada formasi dua-dua mereka mengebut terus, memotong jalan raya, lurus menuju kawasan pertokoan Blok M. Sopir bis kota, helicak, tuan-tuan di mobil mewah maupun rakyat kelas menengah di atas sadel motor masing-masing memaki kalangkabut, nyaris serempak, ketika para remaja itu seenak hati memotong jalan mereka.

"Hei! Anjiiiing!"seorang muda yang menyetir Mercedes memaki Ali Topan Cs.
"Sama, njiiiing!" Ali Topan balas memaki. la tampak paling tampan, paling gagah dan paling brandal di antara kawanan anak-anak muda bersepeda motor trail itu.(Bersambung)

Sumber: kompas.com