Kamis, 15 Januari 2009

Ali Topan Wartawan Jalanan (4)


Ali Topan, Ali Topan, gumamnya sambil berjalan santai. Di dalam benaknya terbayang sosok anak muda itu. Untuk anak muda generasi sekarang pun, ia termasuk tinggi. Sekitar 175 centi, atau lebih, kata hatinya. Tinggi semampai, tapi tidak loyo. Kurus berisi. Gerakannya tak terduga, cepat. Si baret merah membayangkan adegan Ali Topan mencengkeram Cina di toko yang kebetulan disaksikannya.

Adegan tersebut mempesona dirinya. Dan, entah apanya, yang pasti ada sesuatu di dalam diri anak muda itu yang menarik perhatiannya. Matanya? Mata anak itu cemerlang, tapi bersinar sedih. Bahkan pada saat beringas tadi, kesedihan tetap melekat di mata itu. Itu mata khas milik orang-orang yang berpikir cepat dan tajam. Lembutnya, atau sinar sedihnya, mungkin refleksi dari gejolak batinnya. Garis-garis tajam dari hidung dan dagunya, membedakan anak itu dari seorang sentimentil yang cengeng.

Banyak anak-anak muda sekarang yang tampan, tapi jarang yang mengesankan kejantanan. Dia sudah banyak melihat dan bergaul dengan anak-anak muda tapi yang satu ini berbeda sekali. Kebanyakan anak-anak sekarang ganjen seperti perempuan. Ah! Ah! Si baret merah tersenyum sinis sendiri.

la sampai di bawah Kebayoran Teater yang terletak di bagian belakang komplek Pasar Melawai. Dua anak lelaki muda lewat di depannya, dari seberang jalan. Mereka berpakaian rapi, cakep-cakep, saling berangkulan dan tertawa genit seperti perempuan. Si baret merah bersuit keras. Dua anak muda itu berhenti serentak, menengok ke arahnya. Keduanya mengerjap-kerjapkan mata dan mulut mereka manyun-manyun, lantas... serentak pula mereka berjalan, menggoyangkan pantat seperti peragawan.

Si baret merah meludah ke aspal jalanan, mual melihat bencong-bencong itu. la batuk-batuk kecil, lalu bergerak lagi, menyeberang jalan, lewat toko jeans, ia menuju Taman Plaza yang kalau malam jadi pasar kaget yang terletak di sisi selatan terminal Blok M, di luar komplek pasar Melawai.

Penjual kaki lima berteriak-teriak menjajakan dagangan mereka. Kaos oblong, handuk, sandal jepit, gesper sampai batu akik. Teriakan mereka beradu keras dengan lagu-lagu pop yang diputar oleh para penjual kaset obe.

Si baret merah berjalan melewati Taman Christina Martha Tiahahu di ujung terminal, ke arah Garden Hall. Di seberang terminal matanya melihat banyak orang,pikirannya tersimpul pada bayangan Ali Topan. Gue mesti dapet itu anak. Gue mesti dapet, gumamnya. Bayangan wajah anak muda itu tak hilang-hilang dari pikirannya.
"Oom, rokoknya Oom....," seorang bocah pengecer rokok lewat di sampingnya. "Masih ada rokok gua," kata si baret merah. Bocah itu pergi sambil cemberut.
Si baret merah tiba-tiba merasa jarinya panas. Ternyata rokoknya sudah pendek sekali. Apinya memanasi jari. Segera dia jatuhkan, lalu melumatkan puntung rokok itu di alas sepatunya.

Menyeberangi jalan raya, ia masuk ke halaman Garden Hall Teater. Sebuah warung nasi Tegal di pinggir jalan, di belakang bioskop itu merupakan tempat yang ditujunya. Warung itu tempat Tekhab dan sopir-sopir President Taxi dan beberapa seniman Bulungan mangkal.
Matahari mencorong di atas. Peluh membasahi wajahnya. Tapi orang berbaret merah itu tampak gembira. Mulutnya menyiulkan lagu tema film Mannix. la bernama Robert Oui, bekas polisi yang kini merintis usaha sendiri di bidang penyidikan partikelir alias detektif swasta.

Sumber: kompas.com

Ali Topan Wartawan Jalanan (3)


Ali Topan sudah berlalu, bergegas masuk ke lorong arah Kebayoran Bowling Center. Gerakannya cepat. la ingin menghilangkan jejak. Rasanya orang itu teke, kata hatinya. Dan ia tak ingin cari setori. Pikirannya lagi kurang pas.

Lewat depan Bowling Center, ia menggeblas. Langkah kakinya yang panjang dipercepat. Sesaat ia sampai di tempat parkir motor di depan toko roti Lauw, di pojok pasar. Diambil motornya dari tempat parkir, lantas cemplaknya langsung. la keluar lewat gardu parkir, bikin petugasnya melotot plus geleng-geleng kepala. Soalnya gardu itu tempat kendaraan masuk, bukan tempat keluar.

"Si Topan kumat gendenge," kata seorang petugas parkir berlogat Surabaya.

Ali Topan sudah menyeberangi jalan, melaju ke arah Jl. wijaya X. Lewat di depan studio Radio

Amigos di ujung jalan itu, ia melambaikan tangan. Gerombolan muda-mudi yang sedang mangkal di depan Amigos melambaikan tangan ke arahnya.
"Mampir, Paan!" teriak seorang cewek.

Ali Topan terus melaju. Rambutnya yang panjang lebat melambai-lambai di tiup angin. Gagah dan romantis sekali.

Ali Topan tak tahu bahwa oknum berbaret merah yang dipergokinya tadi, sempat mengorek informasi dari Jaim si penjual duku, perihal dirinya. Begitu Ali Topan cabut, lenyap masuk ke toko, orang itu langsung menuju tukang duku. Gayanya profesional.
"Dukunya sekilo, Bang. Yang rata ya, jangan gede di atas kecil di bawah," katanya kalem.
"Rata pegimane, Oom? Emangnya jalan Jagorawi. He he. Condet asli mah, dikobok yang atas apa yang bawah, sama aje kasarnya, Oom. Rasain dulu dah," kata tukang duku. Dia mengangsurkan dua biji duku. Orang berbaret merah mengambil duku itu. Langsung didaharnya.
"Ini baru duku, Bang. Manis."
"Saya kata juga apa, Oom. Dua kilo ye? Tanggung. Sekilo cuman patratus."
"Sayang Sherlock nggak doyan duku, bang. Kalau doyan sih, saya beliin dua kranjang. Sekilo aje deh." Sambil menimbang duku, penjual itu bertanya: "Serlok? Siape Serlok?"
Sambil mengeluarkan duit, orang itu menyahut: "Anjing saya."

Penjual duku melengak, lantas ketawa terkekeh-kekeh. "Ngomong-ngomong, saya kerja di perusahaan film nih. Saya disuruh boss saya nyari anak-anak muda yang keren. Itu anak yang ente kasih duku siapa sih namanya? Di mana tinggalnya? Rasanya cocok banget jadi bintang pilem," kata si baret merah.

Jaim menaruh bungkusan duku di atas dagangannya, lalu mengambil uang kembalian untuk pembelinya. "Oo, si Topan tadi? Namanya Ali Topan, Oom. Emang juga ganteng banget dia. Tinggi, potongan modern. Cuman badung banget dianya. Tukang morotin dagangan saya dia, Oom. Untung aje dia tadi lagi waras. Kalo lagi angot mah, kagak mau dikasih duku segenggam. Maunya dua, tiga kilo. Kalo kagak dikasih, marah-marah dianya. Tukang-tukang dagang disini udah hapal banget lagak lagunya, oom. Malakin orang melulu kerjaannye. Padahal ngeliat tampangnya anak orang baek-baek," si abang nyericis. Omongannya berlebih-lebihan. Padalah Ali Topan tak pemah menarik "pajak" semacam itu.
"Apa bener dia tukang narik pajak, Bang? Rasanya saya liat tadi, ente yang ngasih duku sama dia, saya dengar Anda nawari setengah kilo?" kata si baret merah. Penjual duku gelagapan. Dia sadar sudah bicara berlebih-lebihan. Jaim tersipu-sipu malu.
“Dienya sih kagak, tapi anak-anak yang laen suka majekin di sini," katanya. "Emangnya kenape, Oom? Eh,omongan saya tadi boong nih. Maap ya, Oom." sambungnya, mengalihkan omongan.

Si baret merah memilin-milin kumisnya. “Rumahnya di mana si Ali Topan itu?" tanyanya.

“Aduh saya kagak ngeh, Oom. Tapi ampir tiap ari dia nongol disini. Kayaknya dia anak rumahnya deket-deket sini Kalau oom punya mau sama die, besok dah saya bilangin “ kata Jaim.
"Eit, jangan. Jangan dibilangin. Biar entar saya cari sendiri. Kalau dia mau, kalau kagak kan saya malu...," kata si oom. Dia bayar harga dukunya.
"Ooh iye."
“OK deh, Bang. Sampe ketemu."
“Mari, Oom. Makasih... "'
Si baret merah menenteng bungkusan dukunya, berlalu dari situ.

Sumber: kompas.com

Ali Topan Wartawan Jalanan (2)


Penjual kaset obe mengeraskan volume kaset dagangannya untuk menarik perhatian orang-orang lagi.

Ali Topan cepat masuk ke sebuah toko, dan keluar dari pintu belakang, menuju ke perut pasar Melawai. Tubuhnya yang tinggi semampai enak saja menyelinap di antara orang-orang yang berbelanja.

Ali Topan hafal akan setiap gerak-gerik begitu banyak orang.dan lika-liku lorong pertokoan situ. Dengan cepat ia sampai di lorong tempat toko-toko tekstil. Bau ramuan kimia yang menguap dari kekainan membuat pedih hidung dan matanya. Segera pula ia ke luar dari lorong situ, menuju ke bagian belakang, tempat buah-buahan.

"Hallo, Boss. Manggisnya nih, item banget, isinya ditanggung caem deh. Beli dong bakal mertue ente," kata seorang penjual buah.
"Gue bukan boss," kata Ali Topan ke arah si penjual buah.
"Lu orang baru di sini ye?"
"Tau aja ente," kata orang itu sembari nyengir. Ali Topan juga nyengir.
"Jangan lagi tukang buah, ada ayam baru juga gue tau." Seorang tukang buah, tetangga si tukang buah yang pertama nyeletuk: ` Ah elu, Ding... ini die pembela rakyat Blok M nyang gue ceritain kemarenan... Lu kaga kenalin padahal udah gua bilangin potongannye, jahitannye, ampe cara mandangnye... Maen bas-bos bas-bos aje lu...," cerocos tukang buah itu. "Na die emang lurah sini. Ada tikus baru lahir juga mesti ngedap tar sama dienye," tukang buah itu itu terus memuji Ali Topan.
“Doi sedokur ogut, Pan... Baru kawin kerjaannye mirit kartu mulu, maka gua suruh ngikut dagang disini. Namanye Ending,” lanjutnya. "Ke mane boss? Nyobain duku dulu ah, Condet punya nih. Legit banget kayak anoan..."

Ali Topan mengambil segenggam duku yang disodorkan oleh tukang buah itu. "Mekasih ah," katanya. "Bawanannye mainnya pade ke mane Pan?" Tumben sendirian kayak mata wayang. Ngeliatnya juga asing banget... heh... heh..."
“Pada mudik semua Im... Nyari rejeki masing-masing. Sekarang jaman masing-masing..."
"Di mane orang buang rejeki Pan?"
"Di kantor polisi kah."

Sampai sebegitu Ali Topan diam. la makan sebuah duku, kemudian dengan sigap pandangannya diarahkan ke seseorang berbadan tegap dengan mata tajam sedang memandangnya dari ujung lorong, orang itu kaget. Tapi rasanya dia lihai. Segera dia melengos ke arah lain sambil tangannya mengusap-usap baret merah lusuh sewarna dengan baret RPKAD di kepalanya.

Hati Ali Topan berdetak. Dia jengah sedang dikuntit orang. Sekejap diamatinya itu orang. Berbadan tegap kekar namun agak pendek. Sekitar 165 cm. Rambutnya gondrong berikal. Kumisnya Fu Man Chu punya. Bajunya kain kaki coklat model tentara, agak kombor. Celananya jeans Levi's baru.

Orang itu menengok sekilas ke Ali Topan. la menyulut rokok GG. Matanya agak sipit seperti mata Cina. Tapi profil mukanya seperti Indo. Kesan Indo itu dipertebal dengan cambang brewok yang kasar di kedua pipinya.

Siapa gerangan? Pikir Ali Topan. Tiba-tiba ia ingat. Orang itu ada di antara pengerumun kaset obe, saat ia mencengkeram leher engko Ceng. Dan orang itu memang menatapnya tajam, walau sekilas, saat itu.
"Aaah, gue cabut dulu, Ja'im! Makasih dukunye...," kata Ali Topan. la sengaja berkata keras.
"Kaga mau bawa setengah kilo, Pan... he... he ...” kata penjual buah. Ia ketawa renyah,. nadanya nada Betawi, model Benyamin S.

Sumber: kompas.com

Ali Topan Wartawan Jalanan (1)


SATU

Jakarta, Juni 1978

Satisfaction dari The Rolling Stones terdengar santer dari kotak pengeras suara merek Sansui milik penjual kaset bajakan seribu tiga di depan toko P&D Sinar Pembangunan, di bagian selatan kompleks pertokoan Melawai, Blok M.

Seorang tukang parkir diguyur sinar matahari sibuk mengatur parkiran sepeda motor, masih sempat menggoyang-goyang pantat seirama lagu rock itu. Peluhnya mengalir deras, membuat wajah dan kulit lengannya yang hitam berkilat-kilat. Jam dua siang waktu Kebayoran Baru. Anak-anak pulang sekolah menambah keramaian suasana. Di antara mereka ada yang ikut nimbrung merubung penjual kaset obe tersebut.

Ali Topan menyender di kozyn etalase toko, mendengarkan lagu yang diputar keras itu. Matanya bersinar redup, memandang acuh tak acuh kerumunan orang. Rambutnya yang hitam gondrong lebat sebatas bahu tampak awut-awutan. Untung rambutnya lurus dan lebat, hingga tetap saja enak dipandang dalam keadaan acak-acakan begitu. Terbukti setiap cewek yang lewat di depannya, tak peduli nyonya atau perawan sekolahan, pasti memampirkan pandangan ke wajahnya yang jantan. Dan mereka sama sekali tak berusaha menyembunyikan perasaan kesengsem pada si anak muda. Tubuhnya yang kurusan dibalut kulitnya yang gelap berlumur keringat,menampilkan efek kejantanan yang khas.
"Sssh... garcon idaman...," bisik seorang cewek berseragam rok biru muda SMA Stella yang bersama dua temannya melewati Ali Topan. Cewek itu menjawil lengan temannya.
"Ye-I, gout udah tokau..."' bisik temannya.

Cewek-cewek itu berhenti melangkah. Mereka pura-pura melihat kaset obralan, diikuti teman-temannya. Kemudian, hampir bersamaan, mereka menoleh ke arah Ali Topan. Yang ditoleh melengos. Acuh tak acuh. Ketiga perawan sekolahan saling memandang, hampir bersamaan. Mereka menyeringai, lantas bergegas mencabut langkah dari tempat kejadian.
"Sialan! Nggak tau diri! Udah capek-capek kita liatin, sok melengos lagi ! Sok superstar ye?" kata cewek pertama yang pipinya jerawatan. Suaranya cukup keras hingga terdengar oleh Ali Topan dan beberapa orang di sekitarnya. Orang-orang itu memandang ketiga cewek sekolahan yang segera lenyap diantara.orang-orang yang berlalu lalang. Sekilas mereka menengok ke arah Ali Topan. Yang ditengok tetap redup.

"Heh! Olang gondlong jangan taloh badan di situ! Nanti owe punya owe gua pecah, apa lu olang mau ganti?" seorang Cina setengah baya menegur Ali Topan. Dia ke luar toko P&D yang kozyn etalasenya disenderi Ali Topan. Ali Topan menoleh, memandang orang itu dari bahunya. Lantas dia melengos lagi. Si Cina tampak penasaran. la berkacak pinggang dan lantas ngoceh.
"Heh! Lu olang apa kaga dengarin owe punya omongan ya? Gua bilang jangan taloh badan di situ, nanti kaca owe pecah...owe bisa ru..." belum habis dia ngoceh, Ali Topan melompat garang ke arahnya. Tangan kanannya terkepal keras siap ditimpalin ke kepala orang itu.
"Cina nyempong, lu! Sembarangan ngatain gue tuli! Mata lu tuh yang tuli! Lu liat apa kagak gue nyender di kayu?! Kaca pecah, kaca pecah, entar pale lu ya gue pecahin, baru tau rasa lu!" hardik Ali Topan. Gerakannya yang hebat dan hardikannya yang mengguntur, bikin lost orang-orang di sekitar situ.

Terkesima mereka melihat adegan yang tak terduga. Si orang itu pucat pasi. Wajahnya yang kuning seperti tanpa darah. Kakinya bergetaran. Matanya berkejap-kejap seperti mata anak kecil yang ketakutan ketika hendak dihajar ayahnya. Untunglah mulutnya terkunci rapat. Kalaulah terloncat sepotong kata saja dari mulut itu, pasti kepalan Ali Topan menyambarnya. Dan untung yang lebih besar lagi,Ali Topan cepat bisa menguasai diri. Rasa tak tega cepat sekali mengetuk hati Ali Topan, tatkala memandang wajah yang pasi, mata yang berkejap ketakutan dan merasakan gemetarnya badan orang setengah baya yang dicengkeramnya.
Seorang wanita Cina berlari dari arah penjual kaset obralan, ke arah Ali Topan. "Ali Topan! Ali Topaan! Jangan pukul itu gua punya sudara orang angotan!" teriak si wanita Cina. Ali Topan melihat ke wanita yang mendatangi.
"Dia orang baru di sini, enci Hoa...?" tanya Ali Topan. Si enci Hoa memegangi tangan Ali Topan.
"Iya... Dia itu gua punya engko baru datang kemaren dari Medan. Orangnya angot-angotan... Suka cari ribut sama orang, " kata si enci Hoa. Ali Topan melepaskan cekalannya dari leher baju engkonya enci Hoa.
"Gua lagi mau beli kaset waktu gua liat lu mau pukul engko gua ini... Untung gua liat..," kata enci Hoa. Lalu dia melotot ke arah engkonya. "Engko Ceng! Lu gua udah bilangin jangan keluar dari toko. Lu kudu baek-baek sama orang. Sini! Lu kaga denger kata! Lu tau kaga dia ini siapa?" kata enci Hoa sambil menunjuk ke arah Ali Topan. "Dia ini Ali Topan orang baek. Dia pernah kasi tulung besar sama gua... Waktu toko gua mau di rampok orang jahat! Lu liat nih tangannya ada bekas bacokan golok. Dia tulungin gua tangkepin perampok sampe dianya kena bacok! Gua utang budi sama dia! Gua sudah angkat sudara sama dia! Ayo lu minta maap!" lanjutnya.
"Aah udahlah enci, urusan udah kadaluarsa nggak usah lu omongin lagi. Nulung orang emang hobi gua...," kata Ali Topan. Langsung Ali Topan melepaskan cekalannya dari leher si engko Ceng dan mengendorkan kepalannya.
"Lain kali jangan maki-maki orang sembarangan ye. Awas lu!" kata Ali Topan ke engko-nya enci Hoa. la menatap tajam mata orang itu, lalu menyapu pandangan orang yang menontonnya. Ali Topan risi ditonton oleh beberapa cewek, termasuk tiga cewek Stella yang tiba-tiba muncul di tempat kejadian, Ali Topan lantas cabut dari situ.

Sumber: kompas.com

Ali Topan Anak Jalanan (85)


Ali Topan menggeraikan rambutnya.
"Kasih sayang yang besar membuat jiwa manusia besar, Pak. Sayang, tak setiap orang memilikinya...," sahut Ali Topan.
Agen polisi itu tersenyum.
"Tapi urusan dinas saya masih harus dijalankan. Adik turut ke Komwilko 74, untuk menjelaskan persoalannya. Okey?" kata polisi itu dengan nada ramah.
"Saya mah okey sajaa...," kata Ali Topan, lalu sembari memandang Ika ia pun menyambung,

"Jangankan ke Komwilko, ke kantor Presiden sekalipun, saya akan pergi, jika diperlukan."
Ika tersenyum mendengar jawaban yang mewah itu!

Langit putih. Matahari mencorong di atas Depok. Angin bertiup dari Selatan, Debu debu cokelat beterbangan, mengusap wajah Ali Topan yang sedang memacu sepeda motornya. Keempat polisi di dalam jip Willys mengikutinya dari belakang. Mereka kembali Jakarta.
"Anak yang gagah itu mau kita apakan?" kata seorang polisi, pada temannya yang menyopir jip.
"Kita bikin jadi Tekhab saja, rasanya pas betul."
"Dia bisa jadi agen yang paling keren nantinya. Moga moga saja dia mau."
Ali Topan tak mendengar dialog itu. la sedang melamun. Panasnya sinar mentari, keringnya debu-debu jalanan Depok, tak mampu mengusir bayangan wajah Anna Karenina dari dalam hatinya.

Ia sedih benar, namun bukan kesedihan yang cengeng. la tak menangis, namun hatinya merintih-rintih. Kasih sayang telah hilang. Tak seorangpun yang menjadi miliknya kini. Ia sendirian lagi. "Annaaa, Annaaa, Annaaa," bisiknya.

Hanya suara angin yang menjawab bisikannya. "Hampaaa, hampaaa, hampaaa," keluhnya lagi.

"Jangaaan, jangaaan, jangan menghampaa," angin serasa menjawab keluhannya. Angin itu berhembus dari dalam jiwanya sendiri.
Ali Topan tersadar. la menggertak gigi.
"Selaksa kesedihan, sejuta kekecewaan, tak boleh membuatku mati," bisiknya.
"Tuhan, berikan cintamu padaku." "Tuhan, berikan cintamu padaku." "Tuhan, berikan cintamu padaku."

Berkali-kali Ali Topan memanggil Tuhannya, untuk mengusir kesedihan.
Sampai akhirnya, semangatnya membadai lagi. Bayangan Anna Karenina yang tadinya bersatu dengan kesedihan, terasa melangit. Dalam khayalnya, ia memandang kepergian bayangan yang makin lama makin jauuuh. Cekaman suasana yang tak terlukiskan itu tanpa sadar mendorongnya untuk bernyanyi. Maka iapun bernyanyilah di atas motornya yang berjalan pelahan-lahan.

Pagi yang indah sekali Membawa hati bemyanyi Walau gadisku telah pergi Dan tak kan mungkin kembali Hm yaaa.............. (TAMAT)

Sumber: kompas.com

Ali Topan Anak Jalanan (84)


"Kamu.... Kamu ke mana?" bisik Anna. .,
"Kamu dengar perkataan saya?" Ali Topan balas berbisik.
Anna mengangguk.
"Kamu mau menurutinya?"
Anna memandang Ali Topan. Perasaannya mengatakan, Ali Topan tengah bertempur dengan hatinya sendiri. Ali Topan sayang padanya, tapi tak mau menghancurkan hubungan antara orangtua dan anaknya. Ali Topan tahu, ia sejak mula tak disukai oleh orangtua Anna Karenina. Puncak ketidaksukaan mereka terbukti dengan hadirnya alat-alat negara yang hendak menangkapnya.

Ia tidak takut. la hanya merasa sedih. Jika orangtua Anna tidak menyukainya, kenapa harus melibatkan alat negara segala? Semua orang menyaksikan adegan itu. Ali Topan membelai rambut, mengusap dagu Anna, dengan lembut. Kemudian ia membimbing Anna, dibawanya ke tempat Tuan Surya.

Baru beberapa langkah, Anna berhenti. la tahu maksud Ali Topan sangat mulia. Ali Topan mengalahkan kepentingan dirinya, demi utuhnya sebuah keluarga.
"Topan...," bisik Anna. Pandangan mereka bertemu. "Kamu dengar Anna. Ada saatnya kita bertemu, ada saatnya kita berpisah. Awan tak pernah abadi menahan sinar matahari. Kau mengerti?" bisik Ali Topan.

Anna tak mengerti. la menggeleng-gelengkan kepalanya. Ali Topan tertawa kecil.
"Nah, lain hari kau akan mengerti..."
la membimbing Anna, menyerahkannya pada Pak Surya.

"Oom, saya sayang pada Anna, dan Anna pun sayang pada saya. Jika Oom dan Tante tidak suka pada saya, sayapun tidak bisa memaksa. Saya cuma berharap, Oom jangan menyakiti Anna. Dia tidak bersalah..," kata Ali Topan dengan gagah.

Tuan Surya mendengus seperti babi. Ia tak mau banyak bicara lagi.
Digamitnya Anna, dibawanya ke mobil. Boy segera menyusul. Lelaki itu dengan sigap duduk di belakang stir mobil. Ny Surya menyusul kemudian, diantar oleh Ika. "Ika boleh ke rumah, Papa?" tanya Ika.

Pak Surya mengangguk-angguk. "Datanglah, datanglah...." katanya berulang-ulang.
Meledaklah kebahagiaan Ika mendengar jawaban ayahnya. Dipeluknya kepala sang ayah. Diciuminya berulang-ulang pipi ayahnya. Pak Surya mengelus rambut anaknya.
Iqbal datang mendekati. Pak Surya menoleh padanya.
"Kau bawa anak istrimu ke rumah malam ini ya...," katanya.
"Terima kasih, Pak," kata Igbal.
"Nah. Kami pergi dulu. Urusan sudah selesai...," kata Pak Surya.
Nyonya Surya duduk di belakang, menghibur hati Anna.
Boy menghidupkan mesin mobil.
Kemudian mereka berlalu, meninggalkan para polisi, suami istri Igbal dan Ali Topan, dengan perasaan dan pikiran yang berlainan.
Agen polisi Kebayoran menepuk pundak Ali Topan dari belakang. "Jiwa Anda besar, Dik," katanya: Ika, Igbai dan tiga polisi yang lain serentak mengangguk, mengiyakan.

Sumber: kompas.com