Kamis, 15 Januari 2009

Ali Topan Wartawan Jalanan (3)


Ali Topan sudah berlalu, bergegas masuk ke lorong arah Kebayoran Bowling Center. Gerakannya cepat. la ingin menghilangkan jejak. Rasanya orang itu teke, kata hatinya. Dan ia tak ingin cari setori. Pikirannya lagi kurang pas.

Lewat depan Bowling Center, ia menggeblas. Langkah kakinya yang panjang dipercepat. Sesaat ia sampai di tempat parkir motor di depan toko roti Lauw, di pojok pasar. Diambil motornya dari tempat parkir, lantas cemplaknya langsung. la keluar lewat gardu parkir, bikin petugasnya melotot plus geleng-geleng kepala. Soalnya gardu itu tempat kendaraan masuk, bukan tempat keluar.

"Si Topan kumat gendenge," kata seorang petugas parkir berlogat Surabaya.

Ali Topan sudah menyeberangi jalan, melaju ke arah Jl. wijaya X. Lewat di depan studio Radio

Amigos di ujung jalan itu, ia melambaikan tangan. Gerombolan muda-mudi yang sedang mangkal di depan Amigos melambaikan tangan ke arahnya.
"Mampir, Paan!" teriak seorang cewek.

Ali Topan terus melaju. Rambutnya yang panjang lebat melambai-lambai di tiup angin. Gagah dan romantis sekali.

Ali Topan tak tahu bahwa oknum berbaret merah yang dipergokinya tadi, sempat mengorek informasi dari Jaim si penjual duku, perihal dirinya. Begitu Ali Topan cabut, lenyap masuk ke toko, orang itu langsung menuju tukang duku. Gayanya profesional.
"Dukunya sekilo, Bang. Yang rata ya, jangan gede di atas kecil di bawah," katanya kalem.
"Rata pegimane, Oom? Emangnya jalan Jagorawi. He he. Condet asli mah, dikobok yang atas apa yang bawah, sama aje kasarnya, Oom. Rasain dulu dah," kata tukang duku. Dia mengangsurkan dua biji duku. Orang berbaret merah mengambil duku itu. Langsung didaharnya.
"Ini baru duku, Bang. Manis."
"Saya kata juga apa, Oom. Dua kilo ye? Tanggung. Sekilo cuman patratus."
"Sayang Sherlock nggak doyan duku, bang. Kalau doyan sih, saya beliin dua kranjang. Sekilo aje deh." Sambil menimbang duku, penjual itu bertanya: "Serlok? Siape Serlok?"
Sambil mengeluarkan duit, orang itu menyahut: "Anjing saya."

Penjual duku melengak, lantas ketawa terkekeh-kekeh. "Ngomong-ngomong, saya kerja di perusahaan film nih. Saya disuruh boss saya nyari anak-anak muda yang keren. Itu anak yang ente kasih duku siapa sih namanya? Di mana tinggalnya? Rasanya cocok banget jadi bintang pilem," kata si baret merah.

Jaim menaruh bungkusan duku di atas dagangannya, lalu mengambil uang kembalian untuk pembelinya. "Oo, si Topan tadi? Namanya Ali Topan, Oom. Emang juga ganteng banget dia. Tinggi, potongan modern. Cuman badung banget dianya. Tukang morotin dagangan saya dia, Oom. Untung aje dia tadi lagi waras. Kalo lagi angot mah, kagak mau dikasih duku segenggam. Maunya dua, tiga kilo. Kalo kagak dikasih, marah-marah dianya. Tukang-tukang dagang disini udah hapal banget lagak lagunya, oom. Malakin orang melulu kerjaannye. Padahal ngeliat tampangnya anak orang baek-baek," si abang nyericis. Omongannya berlebih-lebihan. Padalah Ali Topan tak pemah menarik "pajak" semacam itu.
"Apa bener dia tukang narik pajak, Bang? Rasanya saya liat tadi, ente yang ngasih duku sama dia, saya dengar Anda nawari setengah kilo?" kata si baret merah. Penjual duku gelagapan. Dia sadar sudah bicara berlebih-lebihan. Jaim tersipu-sipu malu.
“Dienya sih kagak, tapi anak-anak yang laen suka majekin di sini," katanya. "Emangnya kenape, Oom? Eh,omongan saya tadi boong nih. Maap ya, Oom." sambungnya, mengalihkan omongan.

Si baret merah memilin-milin kumisnya. “Rumahnya di mana si Ali Topan itu?" tanyanya.

“Aduh saya kagak ngeh, Oom. Tapi ampir tiap ari dia nongol disini. Kayaknya dia anak rumahnya deket-deket sini Kalau oom punya mau sama die, besok dah saya bilangin “ kata Jaim.
"Eit, jangan. Jangan dibilangin. Biar entar saya cari sendiri. Kalau dia mau, kalau kagak kan saya malu...," kata si oom. Dia bayar harga dukunya.
"Ooh iye."
“OK deh, Bang. Sampe ketemu."
“Mari, Oom. Makasih... "'
Si baret merah menenteng bungkusan dukunya, berlalu dari situ.

Sumber: kompas.com

Tidak ada komentar: