Kamis, 11 September 2008

Ali Topan Anak Jalanan (11)


Untuk kegembiraannya itu Dudung tak segan-segan mengeluarkan uang guna mentraktir teman-temannya, hampir setiap saat. Ali Topan, Bobby dan Gevaert senang saja dengan kebaikan Dudung itu. Tapi mereka juga tahu diri. Kadang-kadang mereka bergantian mentraktir jika Dudung sedang tongpes karena kiriman uang dari "abahnya" terlambat datang.

Pak Amin menyodorkan dua mangkok bakmi baso. Gevaert membagi semangkok dengan Ali Topan. Bobby membagi yang semangkok lagi dengan Dudung.
"Kalian ini rukunnya melebihi saudara kandung. Enak dilihatnya," kata Pak Amin.
"Kalau enak tambahin basonya dong," kata Ali Topan. Pak Amin tersenyum.
"Doo, dimintain basonya cuma senyum saja dikau," kata Ali Topan.
"Beliau khawatir kalau terlalu banyak menderita rugi. Ntar kagak bisa ngembaliin kredit investasi kecilnya," kata Bobby.
Ali Topan, Gevaert dan Dudung menengok ke Bobby. Mereka menampakkan wajah heran.
"Lu tau-tauan kredit investasi kecil. Siapa yang ngajarin, Bob?" Tanya Ali Topan.
"Pemerentah kan? Pemerentah kita kan ahli dalam soal kredit. Gimana sih lu? Nggak pernah baca koran ya? Percuma dong babe gue jadi Direktur Bank kalau anaknye kagak ngah soal kredit," kata Bobby.
"Oh iye, gue lupa. Memang anak pinter lu," kata Ali Topan.
"Tampang kayak Bobby ini ada bakat jadi tukang ngelipet kredit kalau dia jadi pembesar," kata Gevaert.

"Pssst! Jangan omong begituan ah. Nanti ada yang dengar bisa gawat," bisik PakAmin. Wajahnya kentara betul ngeri mendengar obrolan anak-anak yang bebas aktif itu.

"Gawat kenape? Kalau kita makan baso nggak bayar itu baru gawat. Tapi kalau sekali-kali ngutang sih nggak apa-apa, iya apa nggak, macks?" kata Gevaert, "yang penting kan bayar. Pemerentah kita kan juga suka ngutang sama IGGI," tambahnya.
"Apa itu IGGI. Tentara?" tanya Dudung.

"Tentara?" Bobby bertanya, dahinya dikernyitkan. "Tentara Amerika kan begitu namanya. "
Bobby menyentuh Dudung dan mendorongnya ke belakang.

"Wayyo! Tentara Amerika itu GI, bukan IGGI, bego!" kata Bobby.
"Orang dari daerah susah deh. IQ-nya jongkok terus," kata Gevaert.
"Lu jangan bilang begitu, Vaert. Ntar gue nggak bayarin, baru nyaho lu," gerutu si Dudung.
"Sik. Pakek main gertak lu. Sorry deh kalau tersinggung," kata Gevaert.
"Ngomong-ngomong, abis makan baso nggak enak kalau nggak disambung pakek Dji Sam Soe. Gimana caranya, Dung?"
"Oh, beres, Boss," kata Dudung.

Dia bangkit, dan pergi ke kios rokok di depan sebuah apotik. Jalannya mengesankan betul seperti orang desa yang baru panen. Orang tua Dudung petani kaya yang punya berhektar-hektar Sawah di Kuningan di Jakarta dia tinggal bersama bibinya di desa Petukangan Selatan, Kebayoran Lama, sekitar empat kilometer dari Mayestik.

"Lu, pinter aje motong kompas, Pan," Bobby nyeletuk. Ali Topan cuma nyengir saja. Dia repot mencungkil sisa-sisa bakmi yang menyelip di antara giginya.
Dudung datang bawa rokok Dji Sam Soe. Bungkusan rokok yang belum dibuka itu diberikan pada Ali Topan. "Ente yang merawanin, Boss," katanya.

Pak Amin menekap mulutnya mendengar ucapan Dudung. Dalam batinnya dia berkata, anak jaman sekarang omongannya nggak kira-kira.

"Jadi berapa duit semuanya, PakAmin?" tanya Dudung. Dia ambil seribu rupiah dari dompetnya.
"Enem ratus saja. Pakai kembali apa nggak?" kata Pak Amin.
Dudung memberikan uangnya. "Kalau mau berantem sama kita sih boleh nggak pakek kembali, Pak Amin," katanya. Pak Amin cuma terkekeh-kekeh. Dia memberikan uang kembalian pada Dudung. "Terima kasih ah," katanya.

Ali Topan, Dudung, Gevaert dan Bobby menyemplak motor masing-masing. Rokok Dji Sam Soe menyelip di bibir mereka. Tak lama kemudian, 4 sekawan itu tampak mengendarai motor mereka secara sopan.
"Ke mane kite?" tanya Bobby. "Ke mane kek," jawab Ali Topan.
Ke mane kek itu berarti pergi ke mana saja tanpa tujuan yang jelas. Mereka berkeliling Kebayoran, sampai waktu biasanya pulang sekolah. (bersambung)

sumber: kompas.com

Tidak ada komentar: