Minggu, 14 September 2008

Ali Topan Anak Jalanan (14)


TIGA

Senja bergerak. Matahari jam lima lewat beberapa detik pun bergerak. Biasan sinar kuning merah jingga mewarnai langit kelabu putih di arah Barat. Biasanya warna senja itu pun mengenai sebuah rumah putih-biru di jalan Cipete di Kelurahan Cilandak.

Rumah itu terletak di tanah seluas 700 meter persegi. Bentuknya bergaya Joglo menghadap ke arah Timur. Dindingnya putih, kayu-kayu kusen, pintu, dan risplangnya biru tua.

Dengan paviliun dan garasi mobil di sayap kanan dan kiri rumah buatan tahun 1956 itu, total luas bangunannya 350 meter persegi. Halamannya ditanami rumput gajah. Tanaman bluntas mengelilingi halaman berpagar besi yang sewarna dengan pintu rumah. Pohon-pohon palem besar berjajar di tepi jalan depan rumah yang berhadapan dengan taman kota seluas 600 meter persegi. Pohon mangga Indramayu di depan garasi sedang berbunga. Sedangkan pohon rambutan Aceh Pekat di depan paviliun belum lagi berbuah.

Angin semilir membawa debu. Sebuah Fiat Sport warm tembaga masuk ke halaman rumah itu, berhenti di depan teras. Pak Amir, ayah Ali Topan turun dari mobil, berjalan menuju pintu rumahnya. Tangan kanannya membawa Samsonite, tangan kirinya menenteng jas. Dasinya yang sudah dilonggarkan sejak dari dalam mobil, melilit di lehemya.

Bajunya merk Kern kotak-kota putih-kelabu muda dengan dua kancing atas dibuka memberi kesan `mboys', gaya muda. Tubuhnya tinggi, 170 cm,, atletis, melangkah tegap. Wajahnya oval, ganteng dengan kumis dan rambut dicukur rapi, memberi kesan lebih muda dari usianya yang 49 tahun. la seorang pemborong bangunan yang sukses. Anaknya tiga orang. Boyke, Windy, dan Ali topan. Boyke sejak dua tahun yang lalu ia sekolahkan ke australia.

Pintu rumah dibuka oleh Mbok Yem, pelayan keluarga yang sudah 13 tahun bekerja.
“Bikinin madu telor, Mbok. Aku capek sekali," kata pak amir
“ Ya Ndoro," jawab MbokYem.

Dia menutup pintu, lari ke dapur untuk membuatkan madu telor majikannya. Pak Amir berjalan santai ke dalam.

Mbokyem seorang janda asal Semarang yang berusia 51 tahun. Suaminya seorang penjaga pintu kereta api menceraikannya karena mau kawin lagi. Anaknya dibawa oleh suaminya. MbokYem kemudian merantau ke Jakarta, bekerja pada keluarga Amir sejak Ali Topan berumur 5 tahun. Mbok Yem bertubuh kurus, agak tinggi dan rambutnya selalu digelung. Wajahnya bundar, suka menginang dan menyanyi tembang-tembang Jawa lama. la sangat menyayangi Ali Topan yang ia asuh dengan cinta.

Pak Ihin, sopir Pak Amir, memarkir mobil di bawah pohon rambutan. Sopir setengah tua yang bernama lengkap Solihin itu membuka kap mesin mobil, untuk mendinginkan udaranya. Lalu ia memasang pipa plastik dan membuka keran untuk mencuci mobil.

Di dapur, Mbok Yem mengaduk madu Sumbawa dan dua butir telur ayam kampung yang sudah diberi jeruk nipis secukupnya.
"Ndoro Kakung sekarang sering bener minum madu telor. Setiap hari due kali. Gawat," Mbok Yem berbicara sendiri sembari menata gelas berisi madu telor den air sirup markisa di baki. la tak sadar bahwa majikannya sedang berdiri menunggu di depan pintu dapur.

"Hm! Hm!" Pak Amir berdehem, Mbok Yem terperanjat. "Ngomong ape kamu, Yem. Gawat, gawat ape?" tanya Pak Amir.
"Eh saya jadi kaget. Ini madu telornya sudah siap, Ndoro," kata Mbok Yem. Wajahnya menunduk.

Mbok Yem membawa jamu itu ke ruang tengah. Majikannya membuntuti dari belakang. Begitu gelas jamu itu ditaruh di meja, langsung Pak Amir meminumnya cepat-cepat. Kemudian ia mencuci mulutnya dengan es sirup markisa. la duduk bersantai di kursi ruang tengah untuk memberi kesempatan madu telor masuk ke dalam perutnya.

Suara motor yang bising membuatnya tersentak. Ali Topan datang. la memarkir motornya di dekat sopir yang sedang mencuci mobil ayahnya.
"Selamat sore, Den," sapa Pak Ihin.
"Eh, papa mau nglayab ke mane lagi malam ini Bang ihin" tanyaA]i Topan.
"Saya tidak tahu, Den."
"Mau main perempuan lagi ya. Dapet komisi berapa kamu?" kataAli Topan sambil berjalan masuk ke rumah. Pak sopir mengernyitkan dahi, dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ucapan Ali Topan rupa-rupanya menancap di hatinya.
Masuk ke ruang tengah, Ali Topan melihat ayahnya, sedang mengisap cerutu. Tanpa mengucap apa-apa dan tidak menggubris ayahnya, Ali Topan nyelonong ke kamarnya di bagian belakang ruang itu.wajahnya kusut.

"Ali!" bentakan ayahnya membuat Ali Topan berhenti. Diem saja di tempatnya. Seperti patung. "Sini kamu!" kata ayahnya. (bersambung)

sumber: kompas.com

Tidak ada komentar: