Kamis, 11 September 2008

Ali Topan Anak Jalanan (12)


Jam dua belas seperempat siang, Ali Topan dkk masih duduk-duduk di bawah pohon-pohon cemara di tepi Lapangan Bola Blok S di jalan Senopati. Mereka minum es cincau. Beberapa orang lain minum es cincau pula.

Ali Topan melihat ke arah matahari. "It's time to cabut, friends," katanya. Ia mengambil uang Rp 200 dari saku celananya yang ia berikan ke Tukang jual es cincau yang duduk di bangku kecil di antara dua gentong kayu berisi cincau.

Ali topan dkk berjalan ke motor trail masing-masing dan parkir di pinggir lapangan Merdeka. Ali Topan menepuk bahu Gevaert di sampingnya, dan mengerjapkan matanya tanpa diketahui Dudung dan Bobby. Itu kode. "Atraksi dulu, muterin lapangan, lalu kita ke rumah orang tua masing-masing," kata ali topan.

Bersamaan mereka menghidupkan motor masing-masing. Gas dimainkan, suara knalpot motor itu nyaring memekakkan telinga.
“lets go!" teriak Ali Topan sambil memacu motomya diikuti teman-temannya. Mereka memacu mengelilingi lapangan searah jarum jam dalam formasi barisan. Setelah selesai putaran pertama, mereka formasi berjajar empat. Tukang cincau dan manusia lainnya yang menonton bertepuk tangan.

Putaran kedua Ali Topan mengangkat tangan, diikuti teman-temannya. Lalu mereka keluar lapagan diiringi tepuk tangan dan sorakan para penonton. Mereka masih bersama sampai perempatan jalan Senopati - Wijaya. Lalu Ali Topan dan Bobby terus ke jalan Wjaya, sedangkan Dudung dan Gevaert belok kanan be arah CSW.

Di cabang jalan dekat kompleks PTIK, Bobby belok kanan ke arah jalan Tirtayasa, sedangkan Ali Topan terus. Bobby mengira Ali Topan akan langsung pulang ke rumahnya di Cipete, kawasan Selatan luar Kebayoran Baru. Ternyata tidak. Ali Topan melaju ke rumah Gevaert di jalan Radio Dalam. Ada suatu rahasia yang akan diperlihatkan oleh Gevaert kepada Ali Topan.

Gevaert telah menunggu di bangku bambu di bawah pohon ceri di halaman rumahnya, ketika Ali Topan datang. Rumah orang tua Gevaert kecil, bercat putih, tapi tampak bersih dan rapi. Ali Topan memarkir motornya berdampingan dengan motor Gevaert di bawah pohon ceri. la memetik beberapa buah ceri.
""Nyak lu ada?" tanya Ali Topan.
"Lagi di Cipanas sama babe gue," kata Gevaert.

"Lu mau nunggu di sini atau mau ngikut ke kamar gelap?" lanjutnya.
"Gue ngikut aje..."' kata Ali Topan. Suaranya tersendat. Wajahnya muram.

Gevaert punya studio kecil di sudut halaman rumahnya, yang ia jadikan kamar gelap dan tempat penyimpanan hasil karyanya serta buku-buku fotografi. Ali Topan suka hasil foto Gevaert utamanya yang hitam putih. Tapi ia sendiri kurang atau belum berminat mendalaminya, walau Gevart ingin mengajarinya. Ali Topan cukup memahami teori dasarnya saja dari buku yang ia baca di studio Gevaert beberapa bulan yang lalu.

Mereka sudah berada di dalam studio foto. Gevaert mengambil segulungan film hitam putih yang telah ia cuci. Lalu ia menggelar gulungan film itu dan memperhatikannya di depan lampu.

Ruang studio itu berukuran tiga meter persegi yang dibagi dua dengan dinding triplek berpintu kecil. Ruang berpintu itu adalah kamar gelap tempat Gevaert mencuci dan mencetak film-filmnya. Gevaert dan Ali Topan masuk ke ruang itu. Beberapa minggu yang lalu Ali Topan pernah ikut mencetak film di ruang gelap ini. la tidak tahan bau larutan bromide yang dipakai untuk menimbulkan gambar atau foto.

Waktu itu ia cuma bertahan beberapa menit saja, mangkin karena belum biasa. Tapi sekarang ia bertekad mengikuti proses pencetakan beberapa foto oleh Gevaert sampai selesai. (bersambung)

sumber: kompas.com

Tidak ada komentar: