Jumat, 19 Desember 2008

Ali Topan Anak Jalanan (65)


Ali Topan melihat polisi yang melaju ke depan sambil celingukan. Sambil melaju ke arah Bunderan Hotel Indonesia, Ali Topan masih menempel bis PPD. la melihat penumpang dan kondekturnya ketawa-tawa melihatnya. Mereka tahu kalau Ali Topan mempermainkan polisi.

"Tenang aje, polisinya udah ngilang," kata kondektur bis. Ali Topan diam saja. Malas menjawab.

Lepas dari bunderan HI, Ali Topan memacu motomya kembali. la lurus ke arah utara. Ia ingin segera sampai di pantai Bina Ria, salah satu tempat yang disenanginya untuk menyendiri.

Matahari mulai tenggelam di makan laut barat. Langit berwarna merah merona. Ombak makin besar dan angin makin kencang.

Ali Topan berdiri tegak menatap cakrawala. Rambutnya yang hitam lebat dan gondrong dihembus angin, menambah kegagahannya. Sekujur tubuhnya lusuh. Dan perutnya terasa lapar.Sudah berjam-jam ia merenung sendiri berdialog dengan angin dan laut. Sepatunnya penuh pasir. Demikian Celana jeans-nya.

la berjalan ke tepi pantai. Dimasukkannya kakinya ke laut, sebatas paha. Celana dan bajunya basah tangannya mengambil pasir dari dalam laut. Digenggammya pasir itu, lalu dilemparkannya ke tengah. Kemudian dibasahinya wajahnya dengan air laut. Dijilatinya tangannya basah. Asin. Dan agak pahit. Hausnya makin menjadi-jadi.

Akhimya ia berbalik, berjalan menuju semak memarkir motornya. Diangkatnya sang motor, ditepuknya sadelnya. Lalu ia menyemplakinya.

Sebelum berlalu, ia menoleh ke arah laut." Dah dulu ya laut, kapan-kapan aku ke sini lagi," Lantas ia hidupkan motornya, dan berlalu dari sana.

Sementara itu di rumah Anna. la duduk dengan bapaknya di ruang tengah membahas perkara hubungannya dengan Ali Topan.

"Kenapa jadi begini, Anna? Papa kan sudah bilang berkali-kali agar membatasi pergaulan dengan anak anak yang tidak cocok dengan derajat kita. Kau harus selalu sadar bahwa kau masih punya tetesan darah bangsawan. masih berlaku, walaupun orang bilang sekarang jaman emansipasi.

Bagaimanapun modernnya jaman, tetapi tetap ada perbedaan derajat antara tetesan bangsawan dengan darah rakyat biasa yang tidak jelas asal usulnya," Pak Surya.
“Saya tak mengerti soal itu, Papa," sahut Anna.
“Kamu memang tak pernah mau mengerti. Pokoknya, mengerti atau tidak, Papa ingin kau menurut aturan, titik! Di sekolah yang dulu, kau bergaul sembarangan. Sesudahnya ke sekolah baru, masih begitu saja," kata Pak surya.

“Mestinya dia sekolah di rumah saja, biar tak bikin pusing orangtua. Saya pun sanggup mengajarinya, kalau diminta" sela Boy.

Anna benci sekali mendengar ucapan Boy. Kebenciannya itu ditunjukkan dengan cara melihat Boy dengan jijik.
“gua nggak mau belajar sama kamu, bangsat!" kata anna.
Semua kaget mendengar makian Anna. Tak ada yang menyangka dia berani memaki Boy. Boy melengak, tapi pura-pura tenang. la mengawasi Anna. Boy tersenyum kecil.

Sumber: kompas.com

Tidak ada komentar: