Jumat, 19 Desember 2008

Ali Topan Anak Jalanan (71)


Ali Topan mengambil tas Bobby dari rak buku, lalu memberikan tas itu pada pemiliknya. la tidak mau mengambil sendiri buku catatan Aljabar dan Kimia di situ. Bobby mengambilkan buku-buku dan catatannya.
"Lu apa-apa minta dilayani. Kapan berentinya kelakuan begitu, friend," kata Bobby.
"Itulah yang dinamakan tatakrama, friend. John Lenon menyebutnya etiket. Yang udah-udah, gua baca di buku Can't Buy Me Love sih begitu. Kalau gelas ada tatakannya, kalau manusia ada tatakramanya, begitu friend."
"Buku apa? Can't Buy Me Love? Nggak salah tuh, yang gua baca sih buku Blowin' In the Wind," kata Bobby, senyum dia.
"Yeaaah, sama juga. Tapi yang lebih klasik mah di buku Pileuleuyan yang diedit oleh Nyi Upit Sarirosa," sahut Ali Topan, disambungnya dengan heh he heh heh. Bobby pun ber-heh heh heh heh pula.

Ali Topan mencatat apa yang perlu dicatatnya. Ringkas. Sempurna. Bobby sudah hafal kejeniusan Ali Topan dalam urusan pelajaran. Dia sudah bosan heran dan bertanya, bagaimana caranya otak Ali Topan bekerja. Ia yang punya catatan rapi, belajar cukup getol, tapi jarang dapat angka tujuh pada setiap ulangan Aljabar atau Kimia. Sedangkan Ali Topan yang rasanya ke sekolah cuma iseng, dan hidupnya semi acak-acakan, ulangannya paling apes dapat 8. Kalau nggak sungkan sama Pak Guru, dia selalu dapat 9 atau 10. Brilian-lah, begitu kalau orang Barat bilang.

"Jadi skorsing gua berakhir pas dua hari menjelang minggu tenang, Bob? Lama juga gua cuti nih," kata Ali Topan, seusai merapikan catatannya.
"Nggak juga. Gua denger sih, Pak Borot mau meninjau keputusan itu. Dia tiap hari negosiasi sama Bu Dewi. Gua rasa sih skorsing lu dipersingkat. Paling-paling lu disuruh minta maaf secara tertulis di atas plat segel. "
"Minta maap? Lu kira lebaran pake acara minta maap. Emoh aku!"
"Lantas apa maumu? Apa yang kau cari, Ali Topan?" kata Bobby. Dia ini paling doyan omong gaya tinggi, gaya teknokrat sama Ali Topan.
"Aku tak mau apa-apa dalam hidup yang singkat ini. Yang kucita-citakan adalah menjadi suami yang baik bagi istriku dan menjadi ayah yang baik bagi anak-anakku kelak, kalau Tuhan mengizinkan lho," sahut Ali Topan dengan irama tukang pantun.
"Seandainya Tuhan tidak memberi izin kepadamu, apakah yang kau cari Ali Topan?" tanya Bobby, menahan tawa.
"Seandainya ada acara begitu ya tidak apa-apa, sebab Tuhan itu Maha Bijaksana. "
"Bijaksana apa bijaksini. "
"Eh lu jangan kurang ajar, Bob! Dosa ngoceh sembarangan becandain Tuhan. Lu kire Tuhan itu statusnye kayak Oom lu? Baek-baek lu ngoceh. Ntar bisu ngga ketauan sebabnye lu," kata Ali Topan. Serius die.

Bobby senyum-senyum kecil. Tapi hatinya memang takut. Dia merasa keterlaluan dalam soal Tuhan. Untuk menetralisir suasana, dia membesarkan volume musik Dino, Dessy and Billy-nya.
"Ngomong punya ngomong, gimana kabar Dudung sama Gevaert? Apa semuanya baek?"
"Baek, cuman rada kurang ajar."

"Di pasal berape kurang ajarnye?"
"Di pasal perkosaan. Masak sih, Dudung and Gevaert berani-beranian naksir perempuan. Si Dudung naksir si Meiske anak Gang Kembang, Si Gevaert naksir Farah anak Jalan Tumaritis. Berbarengan lagi cintanya, kan repot?"
"Kapan peristiwanye? Dan gimana silsilahnye si Farah sama si Meiske itu? Anak orang baek-baek apa anak seniman?Anak ABRI atawa anak pegawe negri? Di mana lahirnye, di mana bahenolnye? Pegimane guratan nasibnya, ngajak kaya apa ngajak miskin? Itu semua musti diitung dulu, Bob."
"Nah, itu die, Boss. Gua kan repot. Tiap istirahat udah pade bedua-duaan, kayak pejabat sama bintang pilem gitu. Rasenye, pengen gua goreng aje itu anak dua. Bandel sih, dapet perempuan nggak bagi-bagi."
"Ooh begituuu? Coba deh nanti Oom tanya mereka, kenapa tidak membagi perempuan padamu, Bobiiih " "Eh, jangan manggil Bobih begitu dong, kayak panggilan orang Gunung Kembung..."
Kedua sobat itu tertawa bersama-sama. Renyah. Sesudah capek ketawa dan bosen ngobrol, Ali Topan permisi pulang.
"Nanti malem ke rumah Gevaert, Bob. Kongko-kongko."
"Jangan kebanyakan kongko, ujian sudah di depan congor kita, Pan. Ntar ngga lulus gua bisa ngga diaku anak oleh babe gua."
"Oh ya?"
Malam harinya mereka berkumpul. Ceritanya belajar bareng, tapi toh acara saling `ngeledek' tetap berjalan. Tiga nama perempuan: Anna Karenina, Farah dan Meiske merupakan topik yang menyenangkan Bobby. la menyatakan bahwa perempuan itu cenderung merusak karier, mengganggu pelajaran. la mengatakan, sebelum jadi sarjana, sebaiknya orang lelaki jangan pacaran sama perempuan. Bahaya, katanya.
"Tergantung perempuannya, kalau hatinya memang busuk, ya merusak, kalau hatinya baik ya bikin baik, Bob. Kalau si Farah mah, rasanya berhati emas," kata Gevaert. "Berapa karat?"
"Dua puluh lima karat!" "Wah. Monas kalah dong?"
"Jangan sentimen lu. Belon kena sentuh perempuan lu ya? Sekali kena panah asmara, mabok dah lu."
"Oh ya?"
"Iya."
"Yah, mudah-mudahan deh gua kuat iman. Rasanya sih, tipe ideal gua belum lahir ke dunia. Kalau perempuan biasa saja sih, sorry deh, geli gua. Paling dikit sih selevel sama Putri Caroline dari Monaco."
"Lu ngomong gitu waras apa lagi sakit?" kata Ali Topan.

"Waras. Kenapa? Gua kan gini-gini masih ada tetesan darah biru. Bangsawan Yogya, mack. Asal paham saja."

"Oo darah nenek moyang lu kecampuran tinta dong? Lu jual ke pabrik Parker bisa laku tuh."
Sampai di situ ledek-meledek selesai. Ali Topan tahu, kalau diteruskan, Bobby bisa kalap. Omongan dibelokkan ke buku-buku pelajaran. Demikian sampai jauh malam.

Sumber: kompas.com

Tidak ada komentar: