Jumat, 19 Desember 2008

Ali Topan Anak Jalanan (67)


Ali Topan sampai di jalan Thamrin. Perutnya lapar. la mengebutkan kendaraannya supaya cepat sampai di kebayoran. Pikirannya sudah mendahului sampai di warung Tegal di belakang kantor polisi Komwil 74, salah satu tempatnya biasa makan dengan teman-tempanya.

Di depan gedung Sarinah ia terkesiap. Mobil ayahnya tampak di antara kendaraan yang lain. Ditancapnya gas motornya untuk menyusul mobil itu. Mobil itu memang mobil ayahnya.

Pak Amir tampak sedang tertawa-tawa, menyetir mobilnya. Di sebelahnya duduk seorang perempuan. la sama sekali tak mengira kalau anaknya sedang membuntuti di samping sebuah mobil lain di belakangnya.
"Badanku capek, pegel semua. Kau harus memijati aku Marta," kata pak Amir, sambil menyubit paha perempuan bawaannya. Marta mengaduh, tapi membiarkan tangan Pak Amir tetap di atas pahanya. Bahkan ketika tangan itu menggerayang ke mana-mana tetap dibiarkannya.
"Sabar ah, sabar... sebentar lagi aku tekuk semua tulang-tulang, Oom Amir, supaya hilang capeknya," kata Marta.
"Wah, kalau tulang ditekuk-tekuk, tambah capek dong. "
"Iya, capek, tapi kan enak," sambil tertawa cekikikan. Pas dia ketawa begitu, Ali Topan merendengi mobil Pak Amir. Ali Topan memandang tajam ke arah ayahnya, Pak Amir kaget melihat Ali Topan. Setir mobilnya sampai terlepas dan mobilnya sedikit ngepot. Marta ikut kaget karena mobil itu hampir menghajar mobil lain.
Pak Amir mencoba tersenyum wajar ke anaknya, tapi Ali Topan menampakkan wajah murka.
"Dari mana kau?" sapa Pak Amir, mencoba beramah tamah.
Ali Topan tak menjawab. Ia membuang pandangannya. Lalu memacu motornya ke depan. Pak Amir malah melambatkan mobilnya.
"Siapa sih, Oom?" tanya Marta. “Anak saya.. . ," kata Pak Amir.
"Wah, ganteng ya. Bisa pinjem dong saya..."' kata Marta.
"Hus! Bapaknya saja, jangan anaknya..."' kata Pak Amir. la melotot. Tapi tangannya menggerayangi paha Marta kembali.
"Nanti dia mengadu ke ibunya. Bisa gawat nih, Oom," kata Marta.
"Nggak, nggak. Dia nggak suka ngadu. Nanti kalau ngadu saya tempelengi," sahut Pak Amir.

Mereka sampai di bundaran Hotel Indonesia. Lampu lalu lintas hijau. Pak Amir terus membelokkan mobilnya ke Hotel Indonesia.
Ali Topan mengebutkan motornya. Perutnya yang lapar tiba-tiba tak terasa lagi.

Kelaparannya lenyap, kalah, oleh kepahitan hatinya. Seringkali ia memergoki ayahnya membawa perempuan, yang sekali lirik saja diketahuinya sebagai perempuan bawaan. Bahkan pernah dulu ia bersama Bobby, Dudung dan Gevaert berlibur ke daerah Puncak, dan mengintip orang bercinta di sebuah villa. Yang diintipnya ayahnya sendiri.

Tak terasa ia sampai di bunderan Senayan. Matanya perih kena angin dan debu malam. Diusapnya matanya dengan tangan kiri, lalu mengebut lagi ke jurusan CSW Wajah Anna Karenina terbayang tiba-tiba. Dan rindunya pun datang bersama bayangan wajah gadisnya. Tiba-tiba pula hatinya berdetak. Serasa ada sesuatu yang tidak enak mengganjal perasaannya. Tiba-tiba ada suatu tarikan perasaan yang kuat, keinginannya bertemu dengan Anna. Ia ingin tahu apakah Anna dimarahi oleh orangtuanya karena persoalan di sekolah siang hari tadi.

Tiba-tiba pikiran khasnya muncul, didorong oleh instink aneh yang dimilikinya. Ali Topan memang punya instink tajam. la sering bergerak instinktif. Spontan. Begitu instinknya memberi sinyal berupa perasaan ingin ketemu Anna, Ali Topan langsung menuruti kehendak itu. la menahan rasa laparnya. Motornya langsung ditujukan ke arah rumah Anna. Dia ingin datang ke rumah gadisnya.

Sumber: kompas.com

Tidak ada komentar: