Jumat, 19 Desember 2008

Ali Topan Anak Jalanan (68)


Anna Karenina masih duduk diam di kursinya. la masih tetap dibanjiri nasihat dan petuah oleh ayah dan ibunya. Sudah bosan dia mendengar petuah dan nasihat yang diobral, yang itu ke itu melulu.Tapi untuk beranjak pergi, ia masih ngeri. la belum pernah memberontak secara total.

Pemberontakannya selama ini cuma terbatas pada memaki Boy, atau membantah omongan orangtuanya secara kecil-kecilan, dan akhirnya menangis.Keluarga Anna Karenina memang termasuk keluarga yang sedikit sableng. Istilah ilmiahnya, ayah dan ibu Anna, kehilangan rasionalisme dalam mendidik anak-anak mereka.

Emosi lebih berbicara. Subyektif sekali. Mereka melihat Anna dan Ika sebagai anak kecil melihat boneka-boneka.Anak-anak tak punya hak cukup untuk memilih jalan hidupnya sendiri. Hukum wajib dan larangan, semata-mata datang dari pihak orangtua.

Kebebasan berpendapat, kebebasan menentukan apa yang disukai dan tidak di sukai oleh Anna dan Ika, cuma ada di dalam hati. Tak pernah diberi kesempatan. Mereka lupa, betapa masyarakat di luar rumah setiap saat berubah, begitu cepat. Kaum muda makin menuntut kebebasan, dan memperoleh hal itu dari masyarakat, sedangkan kaum tua menjadi dungu dan tolol, membunuh wibawanya sendiri, karena memusuhi hak kebebasan anak-anak mereka.

Perang nilai, pembaharuan dan kekolotan yang penuh basa basi dan kemunafikan, melahirkan banyak kepahitan. Di antara kepahitan itu makin banyaknya jumlah `unwanted child,' bayi-bayi yang dicetak dalam kepanikan. Motif cinta ataukah nafsu, begitu kabur. Dan tidak menjadi peduli.

Ika Jelita, kakak perempuan Anna Karenina, termasuk dalam kasus itu. la memang jelita bagai porselen. Sialnya, ayah dan ibunya menganggap Ika seperti barang antik, bukan sebagai manusia. Rumah merupakam semacam museum. Ika seperti patung kuno yang ditaruh di dalam lemari kaca. Hanya bisa dilihat, boleh ditaksir, tapi tak boleh menaksir orang yang disukainya. Sampai pada waktunya ia pantas pacaran, pacarpun dipilihkan oleh orangtuanya. Ada anak jendral pensiunan, ada anak dokter jiwa, ada anak pedagang kaya, dan ada keturunan bangsawan Yogya.

Bukan tak ganteng, bukan tak punya cinta, tapi Ika sudah punya pacar. Namanya Muhammad Igbal, anak Betawi asli. la anak yang soleh dan cukup terpelajar. Meskinpun tidak, karena orangtuanya punya sawah dan kebun buah-buahan. Tabiatnya baik. Orangnya rendah hati. Yang utama, Ika mencintainya, dan iapun mencintai Ika dengan sepenuh hati.

Tapi, Tuan dan Nyonya Surya tidak setuju Ika pacaran dengan Muhammad Igbal. Igbal kampungan, kata mereka. Dan segerobak kejelekan lainnya yang diada-adakan.

Ika dan Igbal bercinta lewat pintu belakang. Backstreet. Orangtua Ika tahu. Larangan jatuh. Aturan diperketat. Mereka lupa, makin ketat aturan, makin deras larangan, makin hebat cinta berjuang mencari jalannya.

Sampai pada batas cinta tak bisa kompromi dengan peraturan rumah, Ika-pun hamil oleh Iqbal. Atas dasar cinta sama cinta, suka sama suka. Dan, orangtua akhirnya tak punya kesaktian lagi, kecuali mengusir Ika dengan bekal caci-maki. Begitu ceritanya.
Kini Anna mengalami nasib sama walau tak serupa. Orangtuanya masih belum kapok. Mereka tak mau menimba pelajaran dari pengalaman mereka sendiri. Jiwa anaknya tak diselami, kematiannya tidak ditimbang-timbang. 'Pokoknya, prek deh buat Ali Topan,' demikian keputusan mereka.

Mereka tak menyadari, orangtua pun bisa kuwalat kalau mengkorup hak asasi anaknya. Mereka lupa bahwa mereka bukan Sang Maha Kuasa. Padahal Tuhan telah menanamkan benih cinta di setiap hati umat-Nya. Dan benih itu punya bunga-bunga. Bunga bunga cinta punya keindahan masing-masing. Dan, tak bisa ditahan mekar dan wanginya. Kalau menahan mekarnya bunga, kalau membekap wanginya, itulah melawan takdir.
Rupanya, pikiran Tuan dan Nyonya Surya tidak sampai ke situ. Jadinya, mereka takabur. Menganggap enteng cinta muda-mudi. Kalau diterus-teruskan, mereka menganggap enteng Tuhan anak-anak itu. Mereka pikir, barangkali, Tuhan anak-anak muda berbeda dengan Tuhan mereka.
Anna, Ia gadis yang sedikit nyentrik. Kemauannya lebih keras dari Ika, kakaknya. Bedanya dengan Ika, Anna lebih ekstrovert, terbuka. Ia masih punya setitik harapan, orang tuanya membolehkan ia bergaul dengan Ali Topan. Tapi ia kecewa, karena Ali Topan sudah distempel sebagai pemuda begajulan.
Yang mencemaskan Anna, adalah manusia bernama Boy. Sebagai gadis, Anna punya perasaan, Boy menaksirnya. Taksiran itu habis-habisan. Boy pandai menyembunyikan minatnya dari pandangan orangtua Anna. Tapi nafsu yang terpancar dari dua matanya, tak lolos dari pandangan Anna. Anna ngeri betul pada Boy. Matanya seperti mata tukang perkosa di film-film. Buas dan lapar betul !
Selama ini Anna cuma bisa memendam kengeriannya. Lagi pula ia tidak bisa sembarangan omong, khawatir kalau Boy menjadi-jadi, jika tahu Anna membaca jalan pikirannya yang mesum. Anna khawatir Boy jadi ge-er alias gede rasa.
Kehadiran Ali Topan dalam hidupnya membawa kesejukan di dalam hati. Tapi orang tuanya menganggap justru sebagai badai yang memporak-porandakan segalanya.
Tanpa alasan yang masuk akal. Hingga Anna kesal dan mulai nekat. Diam-diam ia sudah ambil keputusan untuk memberontak, merebut haknya, seperti Ika.
Ketukan di pintu membuat semua orang menoleh. Dan semua orang itu terkejut ketika tahu siapa tamu mereka. Ali Topan!
Sejenak mereka terpana. Tuan Surya mengernyitkan dahi, Nyonya Surya menunjukkan aksi bengong, Boy meringis, dan Anna berhenti menangis!
Ali Topan berdiri tegak. Ia menanti persilaan dari si empunya rumah. Ternyata persilaan itu tak kunjung datang. Yang datang justru kejutan lain.
"Usir anak gila itu, Boy!" seru Tuan Surya.
Tersirap darah Anna mendengarnya. Ia mengangkat kepalanya, melihat ke arah Boy yang berjalan ke pintu. Anna jadi nekat. Dengan cepat ia bergerak, berlari ke pintu.
"Anna! Kembali!" ayahnya berteriak. Tapi Anna tetap berlari, membuka pintu.
"Topaaan... ," bisik Anna, tangannya menyentuh lengan Ali Topan. Ali Topan tersenyum. Mereka saling menggenggam tangan, tak menggubris Boy yang meringis di dekat mereka.
Genggaman itu lepas ketika Tuan Surya datang dan menggeprak tangan mereka! Anna Karenina ditariknya ke dalam, lalu ia berdiri murka di depan Ali Topan. "Jahanam! Pergiiii!" hardiknya.
Ali Topan menganggukkan kepalanya dengan sopan namun gagah. Kemudian ia memutar badannya, dan berjalan dari hadapan orangtua yang murka itu.
Diiringi isak tangis Anna Karenina, ia menyemplak motornya, lantas pergi dari rumah itu.
Hatinya puas bisa bertemu dengan Karenina.

Sumber: kompas.com

Tidak ada komentar: