Sabtu, 08 November 2008

Ali Topan Anak Jalanan (36)


Nyi Akhmad menghampiri anaknya. Diusapnya kepala Dudung dengan lembut. Dudung mencium tangan mamahnya. "Jangan khawatir Mamah. Dudung pakai blujin, angin takut masuk ke dalam badan," kata dudung.

Mak, abah dan Romlah tersenyum mendengar Dudung.
"Jadi langsung ke Jakarta? Ati-ati Dung. Abah dan Mamah doakan," kata abahnya.
"Jangan lupa sholat, juga ngajinya, biar Allah tetap melindungi Dudung," kata Nyi Akhmad.

Dia mengusap kepala anaknya. Dudung memeluk ibunya, kemudian mencium pipi ibunya seperti gaya anak Jakarta mencium pipi mami mereka. Nyi Akhmad mengusap pipi yang baru dicium anaknya. Geli rasanya dicium dengan cara begitu.
"Kok, diusap, Mah?" tanya Romlah.
"Abis nyiumnya kayak orang Belanda, Mamah jadi geli," kata Nyi Akhmad.
"Bukan kayak orang Belanda, Mah, itu ciuman gaya Kebayoran. Belanda udah kagak ada di sana, yang ada orang Amerika," kata Dudung.

la melepaskan pelukan mamahnya, lalu pergi ke abahnya yang memandangnya dengan sorot mata bangga. Dudung menunduk di depan abahnya, lalu mencium tangan sang abah sekali lagi. Haji Akhmad mengusap-usap rambut Dudung yang gondrong. Mulutnya membaca Al-Fatihah.

"Selamet kau Nak...," katanya.
"Berkat doa Abah dan Mamah," kata Dudung.

Kemudian ia menoleh ke Romlah. Romlah datang mendekatinya.
"Kang Dudung, Om mau dicium pipi," kata Romlah.

la mengangsurkan pipinya. Dudung mencium pipi sang adik. Cup! Romlah senang betul, dia membayangkan dirinya seperti anak gadis Kebayoran Baru yang lincah dan hangat.
"Kalau datang lagi bawain Lepis yang kancingnya enam belas, Kang Dudung," kata Romlah. Dudung tersenyum.
"Jangankan kancing enam belas, Lepis yang kancingnya enam lusin juga Kang Dudung bawain buat Om. Tapi Om jangan nakal-nakal ya," kata Dudung.

Nasihatnya persis nasehat anak Gedongan di Kebayoran. Romlah mengangguk-angguk. Ia merasa bangga punya kakak Dudung. Gayanya sekarang keren betul. Jaket stelan blu-jins dengan celananya. Kacamata hitam yang melongok dari dalam kantung jaket menambah kegagahan kakaknya itu.

"Permisi Abah, Mamah, Dudung pergi. Ayuh, Om," kata Dudung.

Lalu ia berjalan keluar diantarkan oleh adik, abah dan emaknya.

Dudung menyemplak sepeda motornya. Dia memakai kacamata hitam, kemudian mengaca di kaca spion. Mesin motor dihidupkannya. Suara knalpot menderu-deru karena Dudung sengaja memainkannya seperti gaya pembalap motor.

Dengan membaca Bismillah, Dudung memasukkan gigi satu motornya. Motor berjalan perlahan. Romlah, abah dan mamahnya melambaikan tangan. Dudung membalas lambaian mereka. Gigi dua dimasukkannya, motor melaju ke depan.

Beberapa gadis tetangganya memandang Dudung dengan penuh kekaguman dari halaman rumah mereka masing-masing. Dudung tersenyum pada mereka. Gigi tiga dimasukkannya. Lantas dia ngebut ke depan, lenyap dari pandangan mata gadis-gadis yang kagum itu.

Sumber: kompas.com

Tidak ada komentar: