Sabtu, 08 November 2008

Ali Topan Anak Jalanan (28)


Ali Topan terpaku di tempatnya, memandang Anna Karenina yang berjalan dengan mantap. Tap-tup-tap-tup, hentakan langkah Anna di aspal jalan terasa sebagai suatu hentakan aneh di hati Ali Topan.

Gaya Anna yang anggun dan sedikit dingin, merupakan satu keangkuhan yang menghantam perasaan Ali Topan. Biasanya dia yang acuh tak acuh sama perempuan. Kini, dia yang diangkuhi. Dan dia tak mampu bikin apa-apa, kecuali bengong saja. "Kenapa lu, Pan? Kayak plembungan," kata Gevaert.

“Udah deh, repot kalau kita ikutin gaya dia. Cakep, naik mercy, buset, ayuh dah, cabut kita!" tambahnya. Gevaert langsung menstarter motornya, diikuti Bobby.

Ali Topan tersadar. Dia menghidupkan motornya, dikuti Dudung. Knalpot meledak-ledak suaranya, sampai Maya menutup kuping. Maya tetap menutup kuping, walaupun 4 sekawan itu telah melesat ke depan. Ketika suara knalpot makin lirih, barulah Maya berjalan meninggalkan tempatnya untuk pulang ke rumahnya di Jalan Barito. Dia biasa berjalan kaki dari rumah ke sekolah, karena jarak rumahnya ke sekolah hanya sekitar 700 meler. Dia termasuk anak berjiwa sederhana, walaupun ayahnya, Pak Utama yang Kolonel TNI-AD tidak tergolong kelompok masyarakat ekonomi rendah.

Rumah Maya berukuran kecil. Bentuknya seperti rumah di daerah Priangan, tempat asal orangtuanya. Tamannya asri, dipenuhi pohon bunga dan pohon hias yang tidak mahal tapi karena pengaturannya sangat bagus, taman itu tampak enak dipandang mata.

Maya adalah anak bungsu keluarga Utama. Tiga kakaknya lelaki semua, Suryana, Permana dan Eddy. Suryana dan Permana sudah menikah, tinggal di mertua masing-masing. Eddy masih kuliah di ITB bagian Geologi dan tinggal di Bandung.

Maya sampai di rumahnya. Nyonya Utama sedang menata makan siang. Maya seperti kebiasaannya, menemui ibunya lebih dulu untuk memberi kecupan. Ibu dan anak itu bentuknya mirip. Nyonya Utama tampak lebih muda beberapa tahun dari usianya yang 50 tahun.

"Daag, sayang, capek yah? Oooh, anak mamih, tiap hari jalan kaki. Kasihan, kasihan... Sebentar mamih bikin minum ya?" kata Nyonya Utama, nadanya penuh dengan kasih sayang.
"Kok pakek kasihan, mih? Nanti Maya jadi manja nih. Jalan kaki kan bikin sehat, lagian uang becaknya bisa ditabung buat beli sepeda mini," kata Maya.

Dia berjalan ke kamarnya.Ibunya tersenyum simpul memandangi Maya. "Anak manis, bagus betul jalan pikirannya," gumam Ny Utama. la makin tersenyum dengan penuh kegembiraan ketika suara Maya berkumandang menyanyikan Cingcangkeling, lagu rakyat Sunda.
"Kalau sudah lapar, makan duluan, Maya!" teriak Nyonya Utama.

Maya mengambil celana pendek jeans dan kaos oblong untuk ganti baju sekolahnya, kemudian ia ke kamar mandi, kencing. Maya keluar dari kamar mandi. "Maya!" seru Ny Utama.

"Ya, mih. Ada apa, mih?"
"Kalau lapar boleh makan duluan. Mamih tunggu papih pulang nanti," kata Nyonya Utama, "mamih bikinkan karedok," tambahnya.
"Asik deh. Tapi mamih makan juga ya, papih kan lama pulangnya. "
"Biar deh, mamih tunggu papih saja."
Maya makan ditunggu oleh Nyonya Utama. Keduanya tampak akrab pertanda komunikasi lancar.

Sumber: kompas.com

Tidak ada komentar: